Selasa, 23 November 2010

PEMAKAIAN OBAT PADA KELOMPOK KHUSUS: KEHAMILAN

I. PENDAHULUAN
Pemakaian obat pada kehamilan merupakan salah satu masalah pengobatan yang penting untuk diketahui dan
dibahas. Hal ini mengingat bahwa dalam pemakaian obat selama kehamilan, tidak saja dihadapi berbagai
kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu, tetapi juga pada janin. Hampir sebagian besar obat dapat melintasi sawar
darah/plasenta, beberapa diantaranya mampu memberikan pengaruh buruk, tetapi ada juga yang tidak memberi
pengaruh apapun.
Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui efek farmakologik
maupun efek teratogeniknya. Secara umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam
plasenta dan memberikan efek pada janin adalah:
(1) sifat fisikokimiawi dari obat
(2) kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin
(3) lamanya pemaparan terhadap obat
(4) bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin
(5) periode perkembangan janin saat obat diberikan dan
(6) efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipolik dan ionisasi obat. Obat yang mempunyai
lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi ke dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang sering digunakan
pada seksio sesarea, dapat menembus plasenta segera setelah pemberian, dan dapat mengakibatkan terjadinya
apnea pada bayi yang dilahirkan. Obat yang sangat terionisasi seperti misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin, akan
melintasi plasenta secara lambat dan terdapat dalam kadar yang sangat rendah pada janin.
Kecepatan dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat molekul. Obat-obat dengan berat
molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan
berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta.
Kehamilan merupakan masa rentan terhadap efek samping obat, khususnya bagi janin. Salah satu contoh yang dapat
memberikan pengaruh sangat buruk terhadap janin jika diberikan pada periode kehamilan adalah talidomid, yang
memberi efek kelainan kongenital berupa fokomelia atau tidak tumbuhnya anggota gerak.
Untuk itu, pemberian obat pada masa kehamilan memerlukan pertimbangan yang benar-benar matang.
II. FARMAKOKINETIKA OBAT SELAMA KEHAMILAN
II.1. Absorpsi
Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam lambung hingga 30-40%. Hal ini menyebabkan pH asam
lambung sedikit meningkat, sehingga obat-obat yang bersifat asam lemah akan sedikit mengalami penurunan
absorpsi. Sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Pada fase selanjutnya akan
terjadi penurunan motilitas gastrointestinal sehingga absopsi obat-obat yang sukar larut (misalnya digoksin) akan
meningkat, sedang absopsi obat-obat yang mengalami metabolisme di dinding usus, seperti misalnya klorpromazin
akan menurun.
A-07/CKD
CATATAN KULIAH/DISKUSI
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada---------------------------------------------
3
II.2. Distribusi
Pada keadaan kehamilan, volume plasma dan cairan ekstraseluser ibu akan meningkat, dan mencapai 50% pada
akhir kehamilan. Sebagai salah satu akibatnya obat-obat yang volume distribusinya kecil, misalnya ampisilin akan
ditemukan dalam kadar yang rendah dalam darah, walaupun diberikan pada dosis lazim. Di samping itu, selama masa
akhir kehamilan akan terjadi perubahan kadar protein berupa penurunan albumin serum sampai 20%. Perubahan ini
semakin menyolok pada keadaan pre-eklamsia, di mana kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein
meningkat hingga 100%. Telah diketahui, obat asam lemah terikat pada albumin, dan obat basa lemah terikat pada
alfa-1 glikoprotein. Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat yang bersifat asam akan meningkat, sedangkan fraksi bebas
obat-obat yang bersifat basa akan menurun. Fraksi bebas obat-obat seperti diazepam, fenitoin dan natrium valproat
terbukti meningkat secara bermakna pada akhir kehamilan.
II.3. Eliminasi
Pada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran darah ginjal sampai dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan
terjadi peningkatan eliminasi obat-obat yang terutama mengalami ekskresi di ginjal. Dengan meningkatnya aktivitas
mixed function oxidase, suatu sistem enzim yang paling berperan dalam metabolisme hepatal obat, maka
metabolisme obat-obat tertentu yang mengalami olsidasi dengan cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital, dan
karbamazepin) juga meningkat, sehingga kadar obat tersebut dalam darah akan menurun lebih cepat, terutama pada
trimester kedua dan ketiga. Untuk itu, pada keadaan tertentu mungkin diperlukan menaikkan dosis agar diperoleh efek
yang diharapkan.
III. PENGARUH OBAT PADA JANIN
Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik, teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan
umur kehamilan paga saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan
menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru
muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi
anatomik pada petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan
pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandungan.
Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan fase-fase berikut,
1. Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh
buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau
berakhirnya kehamilan (abortus).
2. Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu. Pada fase ini terjadi
diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk
yang mungkin terjadi pada fase ini antara lain,
-  Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul
secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester pertama
kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian
hari (pada saat mereka sudah dewasa).
-  pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus.
-  pengaruh sub-letal, yang biasanya dalam bentuk malformasi anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya
fokolemia karena talidomid.
3. Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan
lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi
anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau
biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun
mungkin dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus karena
selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek
samping pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada---------------------------------------------
4
Dalam upaya mencegah terjadinya yang tidak diharapkan dari obat-obat yang diberikan selama kehamilan, maka
oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA-USA) maupun Australia Drug Evaluation Commitee, obat-obat
dikategorikan sebagai berikut (Australian Drug Evaluation Commitee).
-  Kategori A:
Yang termasuk dalam kategori ini adalah obat-obat yang telah banyak digunakan oleh wanita hamil tanpa disertai
kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk lainnya. Obat-obat yang termasuk dalam kategori A
antara lain adalah parasetamol, penisilin, eritromisin, glikosida jantung, isoniazid serta bahan-bahan hemopoetik
seperti besi dan asam folat.
-  Kategori B:
Obat kategori B meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada wanita hamil masih terbatas, tetapi tidak
terbukti meningkatkan frekuensi malformasi atau pengaruh buruk lainnya pada janin. Mengingat terbatasnya
pengalaman pemakaian pada wanita hamil, maka obat-obat kategori B dibagi lagi berdasarkan temuan-temuan
pada studi toksikologi pada hewan, yaitu:
B1: Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan janin (fetal damage). Contoh
obat-obat yang termasuk pada kelompok ini misalnya simetidin, dipiridamol, dan spektinomisin.
B2: Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk tidak meningkatnya kejadian kerusakan
janin, tikarsilin, amfoterisin, dopamin, asetilkistein, dan alkaloid belladona adalah obat-obat yang masuk dalam
kategori ini.
B3: Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin, tetapi belum tentu bermakna pada
manusia. Sebagai contoh adalah karbamazepin, pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol.
-  Kategori C:
Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik
semata-mata karena efek farmakologiknya. Umumnya bersifat reversibel (membaik kembali). Sebagai contoh
adalah analgetika-narkotik, fenotiazin, rifampisin, aspirin, antiinflamasi non-steroid dan diuretika.
-  Kategori D
Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin pada manusia atau menyebabkan
kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini juga
mempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin. Misalnya: androgen, fenitoin, pirimidon,
fenobarbiton, kinin, klonazepam, valproat, steroid anabolik, dan antikoagulansia.
-  Kategori X
Obat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti mempunyai risiko tinggi terjadinya pengaruh
buruk yang menetap (irreversibel) pada janin jika diminum pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini
merupakan kontraindikasi mutlak selama kehamilan. Sebagai contoh adalah isotretionin dan dietilstilbestrol.
IV. PEMAKAIAN BEBERAPA OBAT SELAMA PERIODE KEHAMILAN
IV.1. Antibiotika & antiseptika
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah risiko terjadinya infeksi pada periode ini
lebih besar, seperti misalnya infeksi saluran kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal
kehamilan dan menetap sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan dengan infeksi,
pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu, tetapi juga segi janin, mengingat hampir
semua antibiotika dapat melintasi plasenta dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang
dianjurkan maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat tercapai
semaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan seminimal mungkin.
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada---------------------------------------------
5
IV.1.a. Penisilin
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah menembus plasenta dan mencapai kadar
terapetik baik pada janin maupun cairan amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan,
meskipun perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat kemungkinan efek samping yang
dapat terjadi pada ibu.
-  Ampilisin:
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar ampisilin dalam sirkulasi darah janin
meningkat secara lambat setelah pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi
ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal
janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada
periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam
sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama kehamilan.
Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh
sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian
penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.
-  Amoksisilin :
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik dibanding ampisilin. Amoksisilin
diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan
ampisilin penambahan dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu
maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin, kadarnya hanya sekitar seperempat
sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.
IV. 1.b. Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada trimester pertama kehamilan. Kadar
sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi
tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk
sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang
mendapat sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan.
IV.1.c. Tetrasiklin:
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah melintasi plasenta dan mancapai
kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan
terjadinya deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama
pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses
remodelling, namun sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua hingga
ketiga kehamilan, tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat
menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang
diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari.
IV.1.d. Aminoglikosida
Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh wanita hamil diketaui meningkatkan
angka kejadian malformasi dan kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita
hamil sangat tidak dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan ototoksik pada
ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada janin, terutama jika diberikan pada periode
organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat
aminoglikosida pada kehamilan.
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada---------------------------------------------
6
IV.1.e. Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III, di mana hepar belum matur, dapat
menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan),
hipotermia, muntah, abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping
pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang
karena efek farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik.
Pengaruh ini dapat bersifat reversibel. Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama
pada minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.
IV.1.f. Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang
lebih rendah atau sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus
dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat
ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan
ini mungkin akan menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir.
IV.1.g. Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat terdifusi secara luas ke hampir semua
jaringan (kecuali otak dan cairan serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya
dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan kelainan
pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil
serta pencegahan penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama. Namun ditilik dari
segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika
lain, misalnya tetrasiklin.
IV.1.h. Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih
tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti
bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat
teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus memberikan
kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folet.
IV.1.i. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar
nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan
makin bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma janin juga meningkat. Sejauh ini belum
terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus diberikan
terutama pada kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini kemungkinan akan
menyebabkan anemia hemolitik pada janin.
IV.2. Analgetika
Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan masalah fisiologis dari si ibu, karena
adanya tarikan otot-otot dan sendi karena kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak
berkaitan dengan proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu relatif
pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan pengobatan dalam jangka waktu
tertentu. Penilaian yang seksama terhadap penyebab nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat
yang paling tepat.
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada---------------------------------------------
7
IV.2.a.Analgetika-narkotika
Semua analgetika-narkotika dapat melintasi plasenta dan dari berbagai penelitian pada gewan uji, secara konsisten
obat ini menunjukkan adanya akumulasi pada jaringan otak janin. Terdapat bukti meningkatkan kejadian permaturitas,
retardasi pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian perinatal pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
sering mengkonsumsi analgetika-narkotik. Keadaan withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut biasanya
manifes dalam bentuk tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan takhipnoe.
Metadon:
Jika diberikan pada kehamilan memberi gejala withdrawal yang munculnya lebih lambat dan sifatnya lebih lama
dibanding heroin. Beratnya withdrawal karena metadon nampaknya berkaitan dengan meningkatnya dosis
pemeliharaan pada ibu sampai di atas 20 mg/hari
Petidin
Dianggap paling aman untuk pemakaian selam proses persalinan. Tetapi kenyataannya bayi-bayi yang dilahirkan oleh
ibu yang mendapat petidin selama proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik yang lebih rendah dibanding
bayi-bayi yang ibunya tidak mendapat obat ini, atau yang mendapat anestesi lokal. Dengan alasan ini maka
pemakaian petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila anestesi epidural memang tidak memungkinkan.
IV.2.b. Analgetika-antipiretik
Parasetamol:
Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan. Meskipun kemungkinan
terjadinya efek samping hepatotoksisitas tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih besar dari yang
dianjurkan.
Antalgin:
Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah satu efek samping yang dikhawatirkan pada
penggunaan antalgin ini adalah terjadinya agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang, tetapi
pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari.
IV.2.c. Antiinflamasi non-steroid
Dengan dasar mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis prostaglandin, efek samping obat-obat antiinflamasi
non-steroid kemungkinan lebih sering terjadi pada trimester akhir kehamilan. Dengan terhambatnya sintesis
prostaglandin, pada janin akan terjadi penutupan duktus arteriosus Botalli yang terlalu dini, sehingga bayi yang
dilahirkan akan menderita hipertensi pulmonal. Efek samping yang lain adalah berupa tertunda dan memanjangnya
proses persalinan jika obat ini diberikan pada trimester terakhir.
Sejauh ini tidak terdapat bukti bahwa antiiflamasi non-steroid mempunyai efek teratogenik pada janin dalam bentuk
malformasi anatomik. Namun demikian, pemberian obat-obat tersebut selama kehamilan hendaknya atas indikasi
yang ketat disertai beberapa pertimbangan pemilihan jenis obat. Pertimbangan ini misalnya dengan memilih obat
yangmempunyai waktu paruh paling singkat, dengan risiko efek samping yang paling ringan.
IV.3. Antiemetik
Meskipun pada uji hewan terdapat bukti bahwa obat-obat antiemetik (meklozin dan siklizin) dapat menyebabkan
terjadinya abnormalitas janin, tetapi hal ini belum terbukti pada manusia. Terdapat hubungan yang bermakna antara
pemakaian prometazin selama trimester pertama kehamilan dengan terjadinya dislokasi panggul kongenital pada
janin. Pemakaian antiemetik selama kehamilan sebaiknya dihindari jika intervensi non-farmakologik lainnya masih
dapat dilakukan.
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada---------------------------------------------
8
IV.4. Antiepilepsi
Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin setelah pemberian dosis terapetik
secara intravenosa. Dosis tertinggi pada janin ditemukan dalan hepar, jantung, dan glandula adrenal. Pada wanita
hamil yang mendapat pengobatan fenitoin jangka panjang, kadar fenitoin dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya
dalam sirku janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir sekitar 60-70
jam dan obat masih didapat dalam plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran. Pemberian fenitoin selama
kehamilan dalam jangka panjang ternyata berkaitan erat dengan meningkatnya angka kejadian kelainan kongenital
pada bayi yang dilahirkan. Kelainan ini berupa malformasi kraniofasial disertai penyakit jantung kongenital, celah
fasial, mikrosefalus dan beberapa kelainan pada kranium dan tulang-tulang lainnya. Oleh karena itu pemakaian
fenitoin selama kehamilan sangat tidak dianjurkan.
Obat-obat antiepilepsi lain seterti karbamazepin dan fenobarbiton ternyata juga menyebabkan terjadinya malformasi
kongendital (meskipun lebih ringan ) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat-obat tersebut
selama masa kehamilannya.
Pemakaian asam valproat selama kehamilan mungkin meningkatkan derajat defek tuba neuralis. Dari beberapa
penelitian dilaporkan bahwa 1-2 % spina bifida pada bayi baru lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi asam valproat
selama masa kehamilannya.
IV.5. Antihipertensi
Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita menjumpai seorang wanita yang dalam masa kehamilannya menderita
hipertensi. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah apakah wanita tersebut memang penderita hipertensi atau
hipertensi yang dialami hanya terjadi selama masa kehamilan. Meskipun pendekatan terapi antar keduanya berbeda,
tetapi tujuan terapinya adalah sama yaitu mencegah terjadinya hipertensi yang lebih berat agar kehamilannya dapat
dipertahankan hingga cukup bulan, serta menghindari kemungkinan terjadinya kematian maternal karena eklamsia
atau hemoragi serebral terutama saat melahirkan. Sejauh mungkin juga diusahakan agar tidak terjadi komplikasi atau
kelainan pada bayi yang dilahirkan, baik karena hipertensinya maupun komplikasi yang menyertainya. Berikut akan
dibahas pemakaian obat-obat antihipertensi selama masa kehamilan.
- Golongan penyekat adrenoseptor beta
Obat-obat golongan ini seperti misalnya oksprenolol dan atenolol dapat melintasi plasenta dan mencapai
sirkulasi janin dengan memberi efek blokade beta pada janin. Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak
terbukti meningkatkan kejadian kejadian malformasi janin, meskipun terdapat beberapa kasus bayi dengan
bradikardi temporer setelah pemberian atenolol pada ibu selama kehamilannya.
- Vasodilator
Pada kehamilan, diazoksid, dan hidralazin umumnya digunakan untuk mencegah kelahiran prematur akibat
eklampsia, dimana efeknya tidak saja berupa relaksasi otot vaskuler tetapi juga berpengaruh terhadap otot
uterus. Jika digunakan selama masa kehamilan aterm dapat mengakibatkan lambatnya persalinan. Pada
pemakaian jangka panjang, diazoksid dapat menyebabkan terjadinya alopesia dan gangguan toleransi glukosa
pada bayi baru lahir.
- Golongan simpatolitik sentral:
Metildopa relatif aman selama masa kehamilan. Obat ini mampu melintasi barier plasenta dengan kadar yang
hampir sama dengan kadar maternal. Pemberian metildopa hanya efektif untuk hipertensi yang lebih berat.
Klonidin juga relatif aman untuk ibu dan janin, tetapi pada dosis besar sering memberi efek samping seperti
sedasi dan mulut kering.
Secara lebih tegas, obat-obat antihipertensi yang tidak dianjurkan selama kehamilan meliputi:
1. Pemakaian obat-obat golongan antagonis kalsium seperti verapamil, nifedipin, dan diltiazem selama kehamilan
ternyata menunjukkan kecenderungan terjadinya hipoksia fetal jika terjadi hipotensi pada maternal.
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada---------------------------------------------
9
2. Diuretika sangat tidak dianjurkan selama masa kehamilan karena di samping mengurangi volume plasma juga
mengakibatkan berkurangnya perfusi utero-plasenta.
3. Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena dapat menyebabkan hilangnya
termoregulasi pada neonatal jika dikonsumsi selama trimester III.
4. Obat-obat penyekat neuroadrenergik seperti debrisokuin dan guanetidin sebaiknya juga tidak diberikan selama
kehamilan karena menyebabkan hipotensi postural dan menurunkan perfusi uteroplasental.
5. Pemakaian obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor seperti kaptopril dan enalapril sangat tidak
dianjurkan selama kehamilan karena meningkatkan kejadian mortalitas janin.
V. DAFTAR PUSTAKA (Ada di Bagian Farmakologi Klinik FK-UGM)
Australian Drug Evaluation Committee (1989) Medicine in Pregnancy. Australian Goverment Publishing Service,
Canberra.
Katzung BG (1987) Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition. Lange Medical Book, California.
Speight TM (1987) Avery’s Drug Treatment: Principles and Practice of Clinical Pharmacology and Therapeutics, 3rd
edition.ADIS press,Auckland.
Suryawati S et al (1990), Pemakaian Obat pada Kehamilan.Laboratorium Farmakologi Klinik FK-UGM, Yogyakarta
***

0 komentar:

Posting Komentar