Senin, 25 Oktober 2010

TINJAUAN ATAS KESEHATAN DAN GIZI ANAK USIA DINI

by. Ir. Ahmad Syafiq, MSc, PhD
Pendahuluan
Pembangunan kesehatan dan gizi yang berorientasi pada pembangunan manusia
berkelanjutan (sustainable development for mankind) dilandasi oleh kesadaran
mengenai pentingnya investasi kesehatan bagi kemajuan suatu bangsa. Tanpa
kesehatan, tidak akan ada sumberdaya manusia (SDM) yang intelektual dan produktif
yang merupakan prasyarat utama keberhasilan suatu bangsa. Kesehatan adalah
kapital utama pembangunan yang tanpanya, kapital-kapital lain tidak akan berfungsi
optimal (Grossman, 1972). Kesehatan juga adalah hak asasi manusia yang harus
dipenuhi sebelum hak-hak asasi lainnya dapat dipenuhi.

Peran kesehatan dalam mempersiapkan bahan baku SDM berkualitas tinggi serta
memelihara dan meningkatkan SDM yang berkualitas seharusnya menjadi justifikasi
yang kuat bagi prioritasi pembangunan kesehatan di antara sektor-sektor
pembangunan lainnya. Sayangnya, hal ini nampaknya belum mengemuka dalam
wacana mengenai pembangunan kesehatan di Indonesia yang tekanannya lebih pada
upaya kuratif dibanding upaya preventif dan promotif.
Investasi kesehatan harus dimulai sejak awal, bahkan sejak seorang ibu menyiapkan
diri untuk hamil karena status gizi ibu saat hamil akan mempengaruhi kesehatan janin
yang dikandungnya. Dengan demikian pendekatan gizi dan kesehatan sepanjang daur
kehidupan adalah pendekatan yang tepat dan perbaikan gizi dan kesehatan harus
dilakukan simultan di seluruh tahapan kehidupan, khususnya tahapan awal kehidupan
meliputi calon ibu hamil, ibu hamil, fetus, bayi baru lahir (neonatal), perinatal, masa
sapih, di bawah satu tahun, di bawah dua tahun, di bawah tiga tahun, dan pra-sekolah
(bawah lima-enam tahun). Investasi kesehatan dini adalah modal awal jangka
panjang bagi pembangunan berorientasi peningkatan kualitas SDM dan ini harus
dilaksanakan secara multi- dan lintas-sektoral.
Konsorsium Ilmu Kesehatan Indonesia (KIKI) mengusulkan perlunya redefinisi
terhadap istilah kesehatan. Seperti diketahui WHO mendefinisikan kesehatan
sebagai: “Keadaan sempurna baik fisik, mental, dan sosial dan tidak hanya bebas dari
penyakit dan cacat, serta produktif secara ekonomi dan sosial.” Sedangkan UU
Kesehatan No 23/1992, Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) menyebutkan makna
kesehatan sebagai “keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif baik secara sosial dan ekonomis”.
Definisi-definisi tersebut lebih sesuai bagi manusia dewasa usia produktif, tetapi
belum menegaskan pentingnya kesehatan usia dini. Usulan definisi kesehatan oleh
KIKI adalah: “Kesehatan adalah unsur potensi dasar dan alami dari setiap individu
yang sangat diperlukan pada awal kehidupan dan pertumbuhan dan apabila hal itu
tidak ada atau tidak terpenuhi dapat menghambat perkembangan fisik dan mental
seseorang.” (Konsorsium Ilmu Kesehatan Indonesia, 2003).
Pembangunan Otak
Tumbuh kembang otak dimulai sejak usia janin dua minggu dan dalam hal
pertumbuhan, otak tergolong ke dalam jaringan statik sehingga tidak dimungkinkan
pertambahan sel (hiperplasia) ketika diferensiasi dari sel germinatif terjadi (Boggin,
1999). Implikasi lain dari pertumbuhan jaringan statik adalah tidak dimungkinkannya
pembaharuan (renewal) dan jika terjadi kerusakan bersifat tidak dapat balik
(irreversible).
Saat lahir, pertumbuhan spinal cord dan brain stem hampir selesai sedangkan
cerebellum masih tumbuh sampai tahun pertama kehidupan. Neuron (sel saraf yang
menerima dan mengirim informasi) mulai terbentuk pada usia janin 2 bulan dan
jumlah neuron meningkat pesat pada usia kehamilan 25 minggu sampai bulan-bulan
pertama setelah lahir. Pada saat bayi lahir, hampir semua neuron otak dewasa sudah
terbentuk meskipun belum berkembang penuh.
Selanjutnya neuron bermigrasi dan membentuk axon dan dendrite yang berfungsi
mengirim sinyal (axon) dan menerima sinyal (dendrite) dari neuron lain melalui
sinapsis (hubungan komunikasi sistem saraf) dengan bantuan neurotransmitter.
Perbanyakan dendrite dan koneksi sinapsis terjadi terutama pada trimester 3
kehamilan sampai usia bayi 2 tahun saat jumlah sinapsis mencapai puncaknya
(Papalia, Olds, and Feldman, 2001).
Selain neuron, otak juga terdiri atas sel glial yang melindungi jaringan neuron dengan
myelin (sejenis lemak). Proses yang disebut myelinasi ini memungkinkan terjadinya
komunikasi antar sel neuron secara lebih efisien dengan cara meningkatkan kecepatan
transfer sinyal dan dengan demikian dapat mencapai kematangan fungsional otak.
Myelinasi dimulai saat pertengahan usia kehamilan di beberapa bagian otak dan terus
berlanjut sampai dewasa pada beberapa bagian otak yang lain. Myelinasi pada jalur
otak yang berhubungan dengan sentuhan (sensor awal yang dikembangkan tubuh)
misalnya, sudah selesai saat bayi lahir sedangkan myelinasi pada jalur visual masih
terus berlangsung sampai 5 bulan pertama kehidupan. Sedangkan myelinasi pada
bagian korteks otak yang mengendalikan aspek atensi dan memori masih berlanjut
sampai usia dewasa muda (Papalia, Olds, and Feldman, 2001).
Faktor gizi adalah faktor esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan otak. Kurang
gizi pada ibu hamil dan bayi mempengaruhi perkembangan otak bayi tersebut, studi
mencatat bahwa BBLR menurunkan IQ sampai 5 poin, stunting menurunkan IQ 5-10
poin, dan GAKI menurunkan IQ sampai 10-15 poin (Grantham-McGregor, Fernald,
and Sethuraman, 1999), dan anemia menurunkan IQ sampai 8 poin (Horton and Ross,
2003).
Pemberian ASI eksklusif diketahui memiliki berbagai keuntungan gizi dan kesehatan
diantaranya adalah pembangunan sistem kekebalan tubuh, suplai energi, protein dan
zat gizi lain dalam komposisi yang berimbang, serta keuntungan psiko-emosional
berupa kedekatan (attachment) bayi dengan ibunya. Dalam hal intelektualitas dan
kognitif, bayi yang mendapatkan ASI memiliki IQ lebih tinggi 3.2 point dibandingkan
dengan bayi yang mendapatkan susu formula (Anderson, 1999). Pemberian ASI
eksklusif diketahui berhubungan dengan pemberian ASI segera (immediate
breastfeeding) secara positif (Fikawati dan Syafiq, 2003). Prevalensi ASI eksklusif
sampai 6 bulan di berbagai wilayah di Indonesia masih rendah yaitu di bawah 10%
(Syafiq dan Fikawati, 2007).
Analisis situasi kesehatan dan gizi anak usia dini di Indonesia
Bagian ini secara ringkas menyoroti beberapa indikator terkait dengan kesehatan dan
gizi anak usia dini di Indonesia. Indikator-indikator tersebut meliputi indikator
mortalitas, tumbuh kembang termasuk antropometri dan indikator gizi lainnya.
Tabel 1. Proporsi BBLR (<2500 gram)
1986-1991 1989-1994 1992-1997
Nasional 7.3 7.1 7.7
Perkotaan 6.8 6.6
Pedesaan 7.3 8.4
Kisaran antar propinsi 2.3-16.7 3.6-15.6
Sumber: SDKI dalam Atmarita 2005
Tabel 2. Prevalensi underweight anak usia pra-sekolah 1989-2003
1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001 2002 2003
<-2SD
(underweight)
37.5 35.5 31.6 29.5 26.4 24.6 26.1 27.3 27.5
<-3SD
(severe
underweight)
6.3 7.2 11.6 10.5 8.1 7.5 6.3 8.0 8.3
Sumber: Susenas dalam Atmarita 2005
Tabel 3. Prevalensi stunting anak usia pra sekolah 1990-2001
IBT 1990 Suvita 1992 SKIA 1995 NSS 2001
Laki-laki 47.0 42.5 46.5 46.6
Perempuan 41.9 40.2 45.2 45.5
Perkotaan 36.5
Pedesaan 49.2
Total 44.5 41.4 45.9 45.6
Sumber: Atmarita 2005
Tabel 4. Prevalensi wasting anak usia pra-sekolah 1990-2001
IBT
1990
Suvita
1992
SKIA
1995
SKRT
1995
EvJPS
1999
SKRT
2001
Laki-laki 10.8 9.5 13.9 13.3 16.9
Perempuan 8.7 7.6 12.7 10.0 14.5
Perkotaan 13.5 14.0 15.2
Pedesaan 13.3 13.7 16.2
Total 9.7 8.6 13.4 11.6 13.7 15.8
Sumber: Atmarita 2005
Tabel-tabel di atas menunjukkan bahwa status gizi anak usia pra sekolah di Indonesia
masih mengkhawatirkan. Tingginya prevalensi stunting menunjukkan kurang gizi
yang berkepanjangan dan berlarut. Penurunan status gizi terjadi terutama setelah bayi
melewati umur 6 bulan. Sampai 6 bulan pertama kehidupan, pertumbuhan fisik bayi
relatif sama (Boggin, 1999) namun setelah lewat 6 bulan, pertumbuhan fisik bayi
sangat dipengaruhi situasi lingkungan terutama asupan zat gizi dan infeksi. Data
terakhir dari wilayah Jakarta Timur (Syafiq dan Fikawati, 2007) dengan jelas
menunjukkan hal tersebut seperti dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5. Status Gizi dan Frekuensi pemberian makanan lunak/padat menurut kelompok umur
Kelompok umur anak
<6 bln >= 6 bln Total
Jml % Jml % Jml %
Status Gizi
Gizi Buruk = <-3SD 0 0,0 7 3,6 7 2,1
Gizi Kurang: -3SD sampai -2SD 5 3,7 43 22,1 48 14,5
Gizi Baik : -2 SD sampai +2 SD 128 94,8 134 68,7 262 79,4
Gizi Lebih : >+ 2SD 2 1,5 3 1,5 5 1,5
Frekuensi pemberian makanan lunak/padat
0 84 62,2 4 2,1 88 26,7
1 7 5,2 14 7,2 21 6,4
2 30 22,2 53 27,2 83 25,2
3 14 10,4 115 59,0 129 39,1
4 0 0,0 7 3,6 7 2,1
6 0 0,0 1 0,5 1 0,3
8 0 0,0 1 0,5 1 0,3
Total 135 100,0 195 100,0 330 100,0
Sumber: Syafiq dan Fikawati, 2007
Sementara itu prevalensi anemia pada balita laki-laki tahun 1995 adalah 35.7% dan
pada perempuan 45.2%, dan pada tahun 2001 (laki-laki dan perempuan) adalah
sebesar 48.1% (Atmarita, 2005).
Kebijakan Terkait Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini
Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) telah menetapkan Rencana Aksi Nasional
Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009 (RAN-PPGB) dengan pokok
kegiatan: revitalisasi Posyandu, revitalisasi Puskesmas, intervensi gizi dan kesehatan,
promosi kadarzi, pemberdayaan keluarga, advokasi dan pendampingan, serta
revitalisasi SKPG (Depkes RI, 2005). Secara konsep, RAN-PPGB dilandasi oleh
prinsip-prinsip dan yang justified dan valid juga penetapan sasaran, tujuan, dan
strategi yang berdasar. Kendati demikian ada beberapa hal yang perlu mendapat
catatan sebagaimana diuraikan berikut ini.
Pertama, fokus RAN-PPGB pada gizi buruk masih mencerminkan pola pendekatan
kuratif dan belum bersifat preventif serta promotif. Di samping gizi buruk, gizi
kurang juga perlu mendapatkan perhatian yang sama besar karena gizi kurang
berpotensi untuk menjadi gizi buruk. Jika fokus perhatian hanya pada gizi buruk,
maka besar kemungkinan gizi kurang akan menjadi gizi buruk dan dengan demikian
prevalensi gizi buruk tidak berubah meskipun jumlah gizi buruk yang berhasil diatasi
cukup besar.
Kedua, dalam pelaksanaannya, masih banyak program yang sumber pendanaannya
adalah dari Pemerintah Daerah (Pemda). Hal ini perlu diwaspadai karena
bervariasinya kepedulian dan prioritas Pemda terhadap masalah gizi dan kesehatan.
Pengalaman riil di lapangan dengan Keluraga Berencana menunjukkan bahwa
kepedulian Pemda terhadap isu kependudukan dan kesehatan masyarakat masih
rendah. Pemerintah Pusat perlu mengawal program kesehatan ibu dan anak agar
pembangunan otak, pembangunan kesehatan dini, pemnbangunan SDM unggul bisa
terjamin. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, program Women, Infant,
and Child (WIC) masih didanai oleh pemerintah federal dan tidak diserahkan pada
negara bagian (states). Hal ini perlu mendapat perhatian agar program terkait
kesehatan dan gizi anak usia dini dapat terlaksana secara merata.
Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang
Anak (SDID-TK) (Depkes RI, 2006) perlu dioptimalkan penggunaannya dengan
memastikan bahwa program SDID-TK dijalankan di semua pelayanan kesehatan
dasar. Persoalan utamanya adalah sampai sejauh mana masyarakat memanfaatkan
institusi pelayanan kesehatan dasar tersebut, apalagi jika dimensi-dimensi
aksesibilitas (availability atau ketersediaan, affordability atau keterjangkauan
ekonomis, dan acceptability atau penerimaan sosiokultural) tidak terpenuhi.
Strategi Peningkatan Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini
Usulan yang dapat diajukan untuk strategi peningkatan kesehatan dan gizi anak usia
dini adalah pertama, perlu ditekankan kepada semua pihak mengenai pentingnya
investasi kesehatan dini sebagai prasyarat bagi pembangunan SDM bangsa
berkualitas. Tanpa adanya kesadaran dan pengetahuan mengenai investasi kesehatan
dini maka posisi tawar kesehatan dan gizi akan selalu lemah dibandingkan sektor lain,
misalnya saja sektor pendidikan. Padahal investasi pendidikan tidak akan optimal
bahkan sia-sia tanpa investasi kesehatan dini.
Kedua, pengawalan oleh Pemerintah Pusat. Seperti telah disebutkan di bagian
terdahulu, untuk menjamin keberlangsungan program secara merata Pemerintah Pusat
perlu mengawal baik secara manajerial maupun finansial program peningkatan
kesehatan dan gizi anak usia dini. Menyerahkan pendanaan pada Pemda akan
meletakkan program dalam situasi ketidakpastian dan sudah tentu tidak terlaksana
secara optimal.
Ketiga, pendekatan berbasis komunitas. Masyarakat perlu ikut memiliki dan terlibat
dalam program peningkatan kesehatan dan gizi anak usia dini. Hal ini sangat penting
agar muncul keinginan memperbaiki diri sendiri dan dengan demikian gema program
dapat lebih bergaung. Masyarakat juga harus diajak untuk ikut memahami masalah
yang dihadapi serta terlibat dalam perencanaan program termasuk monitoring dan
evaluasinya. Pendekatan ini juga lebih memberikan jaminan terhadap keberlanjutan
(sustainability) dari program.
Kemitraan perlu dijalin dengan semua pihak, baik institusi pemerintah, sektor swasta,
maupun lembaga swadaya masyarakat. Perlu diperhatikan agar kemitraan yang
terjalin dipelihara khususnya dalam kaitannya dengan keberlanjutan (sustainability)
dari program Acap terjadi program terhenti karena pendanaan dari mitra (donor
agency) sudah diterminasi tanpa ada tindak lanjut dan serah terima oleh institusi
pemerintah.
Daftar Pustaka
Atmarita. 2005. Nutrition Problems in Indonesia. Paper presented at Integrated
International Seminar and Workshop on Lifestyle-Related Diseases. Gadjah Mada
University, 19-20 March 2005.
Boggin, Barry. 1999. Patterns of Human Growth 2nd edition. Cambridge University
Press. Cambridge.
Depkes RI. 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan penanggulangan Gizi
Buruk 2005-2009. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2006. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Depkes RI, Jakarta.
Fikawati, Sandra dan Ahmad Syafiq. 2003. Hubungan antara menyusui segera
(immediate breastfeeding) dan pemberian ASI eksklusif sampai dengan 4 bulan.
Jurnal Kedokteran Trisakti. Mei-Agustus: 22 (2)
Grantham-McGregor, Sally, Lia Fernald, and Kavitha Sethuraman. 1999. Effects of
Helath and Nutritionon Cognitive and Behavioural Development in Children in The
First Three Years of Life. Food and Nutrition Bulletin 20 (1):53-99.
Grossman, Michael. 1972. The Demand for Health: Theoretical and empirical
Investigation. Columbia University Press. New York.
Horton, Susan and J Ross. 2003. The Economics of Iron Deficiency. Food Policy 28
(1): 51-75.
Konsorsium Ilmu Kesehatan Indonesia. 2003. Kesehatan dan Pembangunan Bangsa.
Konsorsium Ilmu Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Papalia, Diane E, Sally W Olds, and Ruth D Feldman. 2001. Human Development
8th edition. McGraw-Hill. Boston.
Syafiq, Ahmad dan Sandra Fikawati. 2007. Laporan Final Survei Data Dasar Gizi
dan ASI di Jakarta Timur. Mercy Corps. Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar