Jumat, 29 Oktober 2010

STROKE DAN PENYAKIT JANTUNG

Penyakit stroke sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang utama baik di negara maju maupun di negara berkembang, karena disamping menyebabkan angka kematian yang tinggi, stroke juga sebagai penyebab kecacatan yang utama. Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia, bahkan di banyak rumah sakit dunia stroke merupakan penyebab kematian nomor satu. Banyak ahli kesehatan dunia juga yakin bahwa serangan stroke adalah penyebab kecacatan nomor satu di dunia (Suyono, 2005).
Angka kecacatan akibat stroke umumnya lebih tinggi dari angka kematian, perbandingan antara cacat dan mati dari penderita stroke adalah empat berbanding satu. Stroke paling banyak menyebabkan orang cacat pada kelompok usia diatas 45 tahun. Banyak penderitanya yang menjadi cacat dan tidak mampu lagi mencari nafkah seperti sedia kala (Lumbantobing, 2003).
Kasus stroke di seluruh dunia diperkirakan mencapai 50 juta jiwa, dan 9 juta di antaranya menderita kecacatan berat. Yang lebih memprihatinkan lagi 10 persen di antara mereka yang terserang stroke mengalami kematian. Tingginya angka kejadian stroke bukan hanya di negara maju saja, tapi juga menyerang negara berkembang seperti Indonesia karena perubahan tingkah laku dan pola hidup masyarakat (Gemari online, 2009).
Menurut Basjiruddin yang dikutip oleh Gemari online (2009), sedikitnya 10% dari 5,5 juta kematian di dunia disebabkan penyakit stroke, dan 50 juta orang yang masih hidup kehilangan pekerjaan karena cacat yang ditimbulkannya.
Penderita stroke menunjukkan kenaikan setiap tahunnya, dimana insiden stroke di Amerika Serikat ± 700.000 pertahunnya dan merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker. Perbandingan antara penderita stroke pria dan wanita di Amerika Serikat adalah 1,2 : 1 serta perbandingan antara kulit hitam dan kulit putih yakni 1,8 : 1. (Caplan, 2000). Di negara industri, penyakit stroke umumnya merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak pada kelompok usia lanjut setelah penyakit jantung dan kanker (Lumbantobing, 2003).
Penyakit Tidak Menular (PTM) utama yang terdiri dari penyakit kardiovaskular, stroke, kanker, Diabetes Mellitus (DM), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), telah meningkat di beberapa negara terutama di negara berkembang. Secara global World Health Organization (WHO) memperkirakan PTM menyebabkan sekitar 60% kematian dan 43% kesakitan di seluruh dunia (Sam, 2007). WHO bahkan memperkirakan pada tahun 2020 PTM akan menyebabkan 73% kematian dan 60% kesakitan di seluruh dunia (Depkes, 2007).
Di Indonesia, stroke juga merupakan salah satu penyebab kematian terbesar. Angka kejadian stroke di Indonesia meningkat tajam akhir-akhir ini, bahkan menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) saat ini Indonesia adalah negara dengan penderita stroke terbesar di Asia (Ranakusumah dalam Kantor Berita Indonesia (KBI) Gemari, 2002).
Menurut Misbach dalam Gemari online (2009), penyakit stroke menduduki urutan ketiga sebagai penyebab kematian di Indonesia. Hal ini tidak jauh berbeda dengan laporan kematian stroke yang ada di negara-negara maju. Penyebab terjadinya stroke adalah karena pola hidup yang tidak teratur, serangan jantung terutama atrium fibrialasi, merokok, serta penyempitan pada pembuluh darah otak
Berdasarkan laporan WHO, kasus stroke yang terjadi di Indonesia tahun 2002 telah menyebabkan kematian lebih dari 123.000 orang. Dan karena belum adanya strategi penanganan yang baku, jumlah kematian akibat stroke ini diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya (Lamsudin dalam Suyono, 2005).
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan tahun 2001, proporsi kematian akibat PTM meningkat dari 25,41% di tahun 1990 menjadi 48,53% di tahun 2001. Proporsi kematian karena Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah meningkat dari 9,1% tahun 1986 menjadi 26,3% tahun 2001. Proporsi kematian akibat stroke meningkat dari 5,5% tahun 1986 menjadi 11,5% di tahun 2001. Keadaan ini terus meningkat dari tahun ke tahun dengan kejadian PTM yang terus mewabah yang disebabkan pola hidup yang salah (Yayasan Jantung Indonesia, 2006).
Terdapat beberapa pembagian faktor risiko stroke, yaitu: 1. Faktor risiko stroke yang tak dapat diubah (nonmodifiable), terdiri dari: a) Umur, b) Jenis kelamin, c) Keturunan, d) Ras, dan 2. Faktor risiko stroke yang dapat diubah (modifiable), meliputi: a) Hipertensi, b) Penyakit jantung, c) Diabetes Mellitus (DM), d) Dislipidemia, e) Merokok, f) Minum alkohol, g) Stenosis arteri karotis
asimtomatik, h) Riwayat stroke dan TIA, i) Penyakit infeksi, j) Riwayat migrain, k) Kontrasepsi oral, l) Pola makan, m) kurang olahraga, n) obesitas (Caplan, 2000; Rowland, 2000; Aliah dan Widjaja, 2006).
Dari faktor risiko tersebut diatas, pola hidup masyarakat yang meliputi pola makan, aktivitas fisik/olahraga, merokok, alkohol dan stres merupakan salah satu faktor risiko yang diduga berperan dalam menimbulkan penyakit pemicu serangan stroke. Menurut Yastroki (2007), keadaan rawan stroke di Indonesia terus meningkat. Kombinasi perubahan fisik, lingkungan, kebiasaaan, gaya hidup dan jenis penyakit yang berkembang dengan tiba-tiba, menyebabkan risiko masyarakat terkena serangan stroke di Indonesia secara kumulatif bisa meningkat menjadi 10 sampai 15 kali atau yang pasti jauh lebih besar dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Perubahan pola hidup sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan peningkatan penyakit yang terjadi dewasa ini. Perubahan pola hidup yang sangat mencolok mengakibatkan banyak masalah kesehatan. Wajar saja bila saat ini banyak bermunculan penyakit (Gemari online, 2009).
PTM seperti penyakit kardiovaskuler, stroke, diabetes tipe II, penyakit paru obsruktif kronik dan kanker tertentu, dalam kesehatan masyarakat sebenarnya dapat digolongkan sebagai satu kelompok Penyakit Tidak Menular utama yang mempunyai faktor risiko yang sama yaitu rokok, pola makan yang tidak seimbang, kurang bergerak dan adanya kondisi lingkungan yang tidak kondusif terhadap kesehatan (Argedireja dalam KBI Gemari, 2003). Perubahan pola struktur masyarakat dari agraris ke industri dan perubahan pola fertilitas gaya hidup dan sosial ekonomi masyarakat diduga sebagai hal yang melatarbelakangi prevalensi PTM, sehingga kejadian penyakit tidak menular semakin bervariasi dalam transisi epidemiologi (Sam, 2007).
Pola hidup sehat banyak berhubungan dengan kesehatan jantung serta jaringan pembuluh darah termasuk stroke (Yastroki, 2007). Saat ini risiko serangan stroke meningkat 10-15 kali, keadaan ini dibandingkan dengan tahun 1970 yang hanya sekitar 2,5 % jelas ada peningkatan yang cukup tajam. Adapun penyebab tingginya angka kejadian stroke di Indonesia akhir-akhir ini lebih disebabkan karena pola hidup masyarakat yang tidak sehat, seperti malas bergerak, makanan berlemak dan kolesterol tinggi, sehingga banyak diantara mereka mengidap penyakit yang menjadi pemicu timbulnya serangan stroke (Samino dalam KBI Gemari 2002).
Masyarakat Aceh memiliki kebiasaan makan makanan yang sangat khas. Perbedaan yang cukup menyolok didalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk pauknya. Lauk pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercita rasa seperti masakan India. Lauk pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing, sapi, ayam, itik). Diantara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (kari kambing), sie reboih (daging rebus), gulai itik/ayam, gulai pliek-u, gulai rampoe, yang umumnya menggunakan santan kental (AcehVirtual, 2009; Wibowo, 2009).
Dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah minum kopi di warung/ kedai kopi. Kebiasaan ini jarang ditemui pada beberapa masyarakat lain di Indonesia. Keadaan ini dapat dilihat di hampir semua sudut kota atau desa di Aceh dan telah membudaya di kalangan masyarakat Aceh (Wibowo, 2009). Disamping itu masyarakat Aceh juga mempunyai aneka jenis penganan yang sangat khas antara lain kue timphan, meusekat, dodol dan ketan durian yang bahan dasarnya adalah santan dan gula (Wikipedia, 2007).
Semua jenis makanan dan minuman tersebut sangat berpotensi untuk timbulnya penyakit penyakit seperti hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus dan penyakit jantung, dimana penyakit penyakit tersebut merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya stroke (Aliah dan Widjaja, 2006).
Berdasarkan Laporan Tahunan Rumah Sakit Umum Dokter Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh tahun 2007 mengenai 10 besar penyakit rawat inap diperoleh data bahwa penyakit serebrovaskular (stroke) menempati urutan ke 6 (304 kasus). Sementara sebagai penyebab kematian, penyakit tersebut menempati urutan ke 7 dari ratio 10 besar penyakit penyebab kematian. Hipertensi menempati urutan ke 3 (3970 kasus) dari 10 besar penyakit rawat jalan, DM menempati urutan pertama (11.234 kasus) pada 10 besar penyakit rawat jalan dan urutan ke 3 (377 kasus) pada 10 besar penyakit rawat inap. Sementara penyakit jantung menempati urutan ke 7 (2322 kasus) pada 10 besar penyakit rawat jalan (RSUZA, 2007).
Salah satu penyakit pemicu timbulnya serangan stroke yang utama adalah hipertensi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Framingham, seorang penderita hipertensi memiliki risiko terkena stroke 7 kali lebih tinggi dibanding orang normal (Klinik sehat, 2008). Peningkatan tekanan sistolik maupun diastolik berkaitan dengan risiko yang lebih tinggi. Untuk setiap kenaikan tekanan diastolik sebesar 7,5 mmHg maka risiko stroke meningkat 2 kali lipat. Apabila hipertensi dapat dikendalikan dengan baik maka risiko stroke turun sebanyak 28–38%. Pengendalian hipertensi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pengendalian gaya hidup (lifestyle) dan pemberian obat antihipertensi (Bethesda Stroke Center, 2007).
Penyakit pemicu stroke lainnya adalah diabetes melitus. Menurut Langi dalam Patologi (2009), Individu yang mengalami diabetes melitus mempunyai risiko serangan jantung dan stroke 2 kali lebih sering dibandingkan orang normal. Bahkan menurut Ranakusumah yang dikutip Aceh Forum Community (2007), meski penyakit hipertensi termasuk penyakit yang memiliki peluang tinggi untuk mendapatkan serangan stroke, namun secara umum penderita diabetes justru memiliki risiko tiga kali lebih besar mendapatkan serangan stroke daripada penderita hipertensi.
Penyakit jantung juga merupakan penyakit yang erat kaitannya dengan stroke. Dari studi Framingham diperoleh bahwa peningkatan insidensi stroke 18 kali pada fibrilasi atrial yang berhubungan dengan penyakit jantung katup rematik, dan pada fibrilasi atrial bukan katup risiko stroke meningkat hingga hampir 5 kali. Dengan demikian, penyakit jantung adalah faktor risiko yang penting bagi stroke iskemik, sedangkan perannya sebagai faktor risiko pada stroke hemoragik masih perlu pembuktian yang lebih pasti (Aliah dan Widjaja, 2006). Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian terbanyak pada penderita stroke (Klinik sehat, 2008).
Seseorang yang mempunyai faktor keturunan penyakit jantung dan stroke harus lebih berhati-hati dengan pola hidup yang dijalani. Walaupun pola hidup yang sudah tertanam bertahun tahun sangat sulit dan membutuhkan waktu untuk dirubah, tetapi manfaat yang akan diperoleh adalah sangat besar. Semakin banyak faktor pemicu risiko dalam tubuh, makin besar kemungkinan seseorang terkena jantung koroner dan stroke. Apabila seorang memiliki tiga faktor misalnya perokok, kolesterol tinggi dan kurang berolahraga kemungkinan terkena serangan jantung 6 kali dibanding orang yang mempunyai satu faktor bahkan 10 kali dari mereka yang tanpa risiko (Papuamania.com, 2003).
Upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular sudah dilakukan oleh berbagai pihak bukan hanya oleh pemerintah saja baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Fokus pencegahan dan penanggulangan bersifat paripurna dan promotif sampai rehabilitatif dengan fokus utama adalah pencegahan, deteksi dini dan paliatif pada golongan penyakit yang angka kejadiannya tinggi dan feasible untuk dilaksanakan. Saat ini Depkes telah menyusun kebijakan dan strategi nasional pencegahan dan penanggulangan PTM yang meliputi 3 komponen utama, yaitu surveilans PTM, promosi dan pencegahan PTM serta manajemen dan pelayanan PTM. Kebijakan tersebut tidak mungkin dilaksanakan hanya bersandarkan pada kemampuan pemerintah, tetapi harus melibatkan seluruh komponen masyarakat (Argedireja dalam KBI Gemari, 2003).
Menurut Suyono dalam Yastroki (2007), saat ini Yastroki juga sedang mengembangkan upaya memasyarakatkan pola hidup sehat, sekaligus pencegahan stroke. Karena pola hidup sehat banyak berhubungan dengan kesehatan jantung serta jaringan pembuluh darah termasuk stroke. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, gerakan ini seyogyanya menempatkan penduduk Indonesia yang berjumlah 211-212 juta jiwa dan telah mengalami kemajuan demografis membiasakan dirinya untuk hidup sehat, memahami dan akrab dengan tanda-tanda awal serangan stroke dan mampu memelihara dirinya dengan baik, melalui pengembangan Gerakan Peduli Stroke (Gelis). Gerakan ini, menurutnya, merupakan jawaban untuk hidup sehat dalam alam modern, sekaligus membantu masyarakat memahami langkah-langkah yang perlu diambil, akrab dengan keadaan dirinya, mengetahui secara mendalam kemungkinan menderita penyakit degeneratif, khususnya stroke, dan mempunyai komitmen tinggi untuk ikut mengembangkan jaringan yang dapat menolong dirinya. Upaya itu antara lain berupa peningkatan kesadaran, pendidikan, dan sekaligus pelatihan hidup sehat yang diwujudkan melalui berbagai upaya di sekolah, atau di lingkungan masyarakat luas. Tujuannya adalah agar setiap anak bangsa, terutama keluarga rawan stroke, juga keluarga dengan penderita stroke, dapat menjadi pendamping yang akrab terhadap kemungkinan terkena stroke. Pemberian pengetahuan tentang pola hidup sehat tersebut idealnya diberikan sejak sekolah dasar.
Berdasarkan tinjauan diatas, tampak bahwa stroke merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar dan memerlukan penanganan yang tepat serta melakukan pencegahan dengan baik pula tentunya. Berbagai faktor dapat menjadi tolok ukur dalam menilai besarnya kemungkinan seseorang akan mengalami serangan stroke. Karenanya, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana pengaruh faktor kebiasaan masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terhadap risiko serangan stroke tersebut karena salah satu faktor yang diduga memengaruhi munculnya stroke adalah pola hidup masyarakat.
Universitas Sumatera Utara

0 komentar:

Posting Komentar