Sabtu, 19 November 2011

STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI PUSKESMAS

Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menetapkan bidang kesehatan merupakan salah satu kewenangan wajib yang harus dilaksanakan oleh Kabupaen/Kota. Penyelenggaraan Kewenangan Wajib oleh Daerah adalah merupakan perwujudan otonomi yang bertanggung jawab, yang pada intinya merupakan pengakuan/pemberiaan hak dan kewenangan Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah. Tanpa mengurangi arti serta pentingnya prakarsa Daerah dalam penyelenggaraan otonominya dan untuk menghindari terjadinya kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupaten/Kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang tertentu termasuk di dalamnya kewenangan bidang kesehatan.

Untuk menyamakan persepsi dan pemahaman dalam pengaktualisasian kewenangan wajib bidang kesehatan di Kabupaten/Kota seiring dengan Lampiran Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.100/756/OTDA/tanggal 8 Juli 2002 tentang Konsep Dasar Penentuan Kewajiban Wajib dan Standar Pelayanan Minimal, maka dalam rangka memberikan panduan untuk melaksanakan pelayanan dasar dibidang kesehatan kepada masyarakat di Daerah, telah ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Yang dimaksud dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah suatu standar dengan batas-batas tertentu untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat yang mencakup jenis pelayanan, indikator, dan nilai (benchmark). Pelayanan dasar kepada masyarakat adalah fungsi Pemerintah dalam memberikan dan mengurus keperluan kebutuhan dasar masyarakat untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat.


SPM Bidang Kesehatan pada hakekatnya merupakan bentuk-bentuk pelayanan kesehatan yang selama ini telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Namun demikian mengingat kondisi masing-masing daerah yang terkait dengan keterbatasan sumber daya yang tidak merata, maka diperlukan pentahapan pelaksanaannya dalam mencapai pelayanan minimal target 2010 oleh masing-masing Daerah sesuai dengan kondisi dan perkembangan kapasitas standar teknis, mempunyai batasan tertentu. Sebagai contoh cakupan pelayanan imunisasi harus ³ 80% karena < 80% tidak mempunyai dampak epidemiologis. Puskesmas sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesehatan Kabupaten/Kota berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia sehingga mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan SPM bidang kesehatan.

b. Definisi Operasional
Cakupan pertolongan persalinan oleh Bidan atau Tenaga Kesehatan
adalah cakupan ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di suatu wilayah
kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.

c. Langkah Kegiatan
1) Pelayanan Persalinan;
2) Perawatan nifas;
3) Pemantauan dan Penilaian.

d. Rujukan
1) Buku Pegangan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal;
2) Standar Pelayanan Kebidanan (SPK);
3) Pelayanan Kebidanan Dasar;
4) PWS-KIA;
5) Pedomana Asuhan Persalinan Normal (APN).

3. Ibu hamil Risiko tinggi yang dirujuk

a. Pengertian
1) Risiko tinggi (Risti)/Komplikasi adalah keadaan penyimpangan dari
normal yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian
ibu maupun bayi;
2) Risti/Komplikasi kebidanan meliputi: Hb < 8 gr %, Tekanan darah
tinggi (Sistole > 140 mmHg, Diastole > 90 mmHg), Edema nyata,
Eklampsia, Perdarahan pervaginam, Ketuban pecah dini, Letak
lintang pada usia kehamilan > 32 minggu, Letak sungsang pada
primigradiva, Infeksi berat/Sepsis, Persalinan permarur.
3) Bumil Risti/Komplikasi yang dirujuk adalah Ibu hamil Risti/
Komplikasi yang ditemukan untuk mendapatkan pertolongan
pertama dan rujukan oleh tenaga kesehatan.

a. Definisi Operasional
Ibu hamil Risiko tinggi yang dirujuk adalah ibu hamil risiko tinggi/
komplikasi yang dirujuk di suatu wilayah kerja Puskesmas pada kurun
waktu tertentu.
b. Langkah Kegiatan
1) Persiapan Pelayanan Antenatal;
2) Pelayanan ANC;
3) Persiapan Pelayanan Pertolongan Persalinan;
4) Persiapan Pendeteksian Ibu hamil Risti/Komplikasi;
5) Deteksi Ibu hamil Risti/Komplikasi;
6) Pemantauan dan Penilaian.
c. Rujukan
1) Buku Pegangan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal;
2) Standar Pelayanan Kebidanan (SPK);
3) Pelayanan Kebidanan Dasar;
4) PWS-KIA;
5) Pedomana Asuhan Persalinan Normal (APN);
6) Pedoman Audit Maternal Perinatal (AMP).

4. Cakupan Kunjungan Neonatal
a. Pengertian
1) Cakupan Kunjungan Neonatal (KN) adalah pelayanan kesehatan
kepada bayi umur 0-28 hari di Puskesmas maupun pelayanan melalui
kunjungan rumah;
2) Pelayanan tersebut meliputi pelayanan kesehatan neonatal dasar
(tindakan resusitasi, pencegahan hipotermi, pemberian ASI dini dan
eksklusif, pencagahan infeksi berupa perawatan mata, tali pusat,
kulit, dan pemberian imunisasi), pemberian vitamin K, Manajemen
Terpadu Bayi Muda (MTBM), dan penyuluhan perawatan neonatus
di rumah menggunakan buku KIA;
3) Setiap neonatus memeroleh pelayanan kesehatan minimal 2 kali
yaitu 1 kali pada umur 0-7 hari dan 1 kali pada umur 8-28 hari.

b. Definisi Operasional
Cakupan Kunjungan Neonatus adalah cakupan neonatus yang
memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standar oleh Dokter,
Bidan, Perawat yang memiliki kompetensi klinis kesehatan neonatal,
paling sedikit 2 kali, di suatu wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu
tertentu.

c. Langkah Kegiatan
1) Pelatihan klinis kesehatan neonatal meliputi resusitasi, pelayanan
kesehatan neonatus esensial, MTBM, pemberian vitamin K, dan
penggunaan buku KIA;
2) Pemantauan paska pelatihan resusitasi dan MTBM;
3) Pelayanan kunjungan neonatus di dalam gedung dan luar gedung;
4) Pelayanan rujukan neonatus;
5) Pembahasan audit kesakitan dan kematian neonatus.

d. Rujukan
b. Modul Pelatihan Resusitasi;
2) Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial;
3) Modul Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM);
4) Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
5. Cakupan Kunjungan Bayi
a. Pengertian
1) Cakupan kunjungan bayi adalah cakupan kunjungan bayi umur 1-12
bulan di Puskesmas maupun di rumah, Posyandu, tempat penitipan
anak, panti asuhan dan sebagainya, melalui kunjungan petugas;
2) Pelayanan kesehatan tersebut meliputi deteksi dini kelainan tumbuh
kembang bayi (DDTK), stimulasi perkembangan bayi, MTBM,
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), dan penyuluhan
perawatan kesehatan bayi di rumah menggunakan buku KIA yang di
berikan oleh dokter, bidan, dan perawat yang memiliki kompetensi
klinis kesehatan bayi;
3) Setiap bayi memeroleh pelayanan kesehatan minimal 4 kali yaitu
satu kali pada umur 1-3 bulan, satu kali pada umur 3-6 bulan, satu
kali pada umur 6-9 bulan, dan satu kali pada umur 9-12 bulan.
b. Definisi Operasional
Cakupan kunjungan bayi adalah cakupan bayi yang memeoleh pelayanan
kesehatan sesuai dengan standar oleh Dokter, Bidan, dan Perawat yang
memiliki konpetensi klinis kesehatan bayi, paling sedikit 4 kali, di satu
wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Peningkatan kompetensi klinis kesehatan bayi meliputi DDTK,
stimulasi perkembangan bayi, dan MTBS;
2) Pemantauan pascapelatihan MTBS dan DDTK;
3) Pelayanan kunjungan bayi di dalam gedung dan luar gedung;
4) Pelayanan rujukan;
5) Pembahasan audit kematian dan kesakitan bayi;
d. Rujukan
1) Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS);
2) Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita (DDTK);
3) Buku KIA.

6. Cakupan Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR yang di tangani

a. Pengertian
1) Bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram yang ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam
pertama setelah lahir;
2) Penanganan BBLR meliputi pelayanan kesehatan neonatal dasar
(tindakan resusitasi, pencegahan hipotermia, pemberian ASI dini
dan ekslusif, pencegaan infeksi berupa perawatan mata, tali pusat,
kulit, dan pemberian imunisasi), pemberian vitamin K, Manajemen
Terpadu Bayi Muda (MTBM), penanganan penyulit/komplikasi/
masalah pada BBLR dan penyuluhan perawatan neonatus di rumah
menggunakan buku KIA;
3) Setiap BBLR memeroleh pelayanan kesehatan yang diberikan di
sarana pelayanan kesehatan maupun pelayanan melalui kunjungan
rumah oleh Dokter, Bidan, dan Perawat yang memiliki kompetensi
klinis kesehatan neonatal dan penanganan BBLR.
4)

b. Definisi Operasional
Cakupan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yang ditangani adalah cakupan
BBLR yang di tangani sesuai standar oleh Dokter, Bidan, dan Perawat
yang memiliki kompetensi klinis kesehatan neonatal dan penanganan
BBLR, di satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu
c. Langkah Kegiatan
1) Pelatihan klinis kesehatan neonatal dan penanganan BBLR;
2) Pemantauan paska pelatihan kesehatan neonatal dan penanganan
BBLR;
3) Pemantauan BBLR ditangani melalui kunjungan neonatal (KN) di
dalam gedung dan di luar gedung;
4) Pelayanan rujukan BBLR;
5) Pembahasan audit kematian BBLR.
d. Rujukan
1) Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial;
2) Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS);
3) Modul Manajemen Terpadu Balita Muda (MTBM);
4) Buku KIA.

B. Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia Sekolah
1. Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang (DDTK) Anak Balita
dan Pra Sekolah

a. Pengertian
1) Balita dan Anak Pra Sekolah adalah anak umur 0 sampai dengan 5
tahun;
2) Pelayanan DDTK Balita dan Pra Sekolah meliputi kegiatan deteksi
dini masalah kesehatan anak menggunakan MTBS, monitoring
pertumbuhan menggunakan buku KIA/KMS dan pemantauan
perkembangan (motorik kasar, motorik halus, bahasa, sosialisasi,
dan kemandirian), penanganan penyakit sesuai MTBS, penanganan
masalah pertumbuhan, stimulasi perkembangan Anak Balita dan
Pra Sekolah, pelayanan rujukan ke tingkat yang lebih mampu;
3) Setiap anak umur 0 sampai dengan 5 tahun memperoleh pelayanan
DDTK minimal 2 kali pertahun (setiap 6 bulan sekali). Pelayanan
DDTK diberikan di dalam gedung maupun di laur gedung (di
Posyandu, Taman Kanak-kanak, tempat penitipan anak, panti
asuhan, dan sebagainya) oleh Dokter, Bidan, dan Perawat yang
memiliki kompetensi klinis kesehatan anak, DDTK, MTBM, dan
MTBS.

b. Definisi Operasional
Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang (DDTK) Anak Balita dan
Pra Sekolah adalah cakupan anak umur 0-5 tahun yang dideteksi
kesehatan dan tumbuh kembangnya sesuai dengan standar oleh Dokter,
Bidan, dan Perawat, paling sedikit 2 kali per tahun, di satu wilayah
kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.

c. Langkah Kegiatan
1) Pelatihan klinis kesehatan Balita, MTBS, dan DDTK;
2) Pemantauan paska pelatihan;
3) Pelayanan kunjungan anak balita dan pra sekolah, di dalam gedung
dan luar gedung;
4) Pelayanan rujukan.

d. Rujukan
1) Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS);
2) Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita (DDTK);
3) Buku KIA.
2. Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Siswa SD dan Setingkat oleh Tenaga
Kesehatan atau Tenaga Terlatih/Guru UKS/Dokter kecil

a. Pengertian
1) Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah upaya terpadu lintas program
dan lintas sektor dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan serta
membentuk perilaku hidup sehat anak usia sekolah yang berada di
sekolah;
2) Pelayanan kesehatan pada UKS adalah pemeriksaan kesehatan umum,
kesehatan gigi dan mulut siswa SD dan setingkat melalui penjaringan
kesehatan terhadap murid kelas 1 Sekolah Dasar dan Madrasah
Ibtidaiyah yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bersama dengan
guru UKS terlatih dan dokter kecil secara berjenjang (penjaringan awal
oleh guru dan dokter kecil, penjaringan lanjutan oleh tenaga
kesehatan);
3) Tenaga kesehatan adalah tenaga medis, keperawatan, atau petugas
Puskesmas lainnya yang telah dilatih sebagai tenaga pelaksana
UKS/UKGS;
4) Guru UKS/UKGS adalah guru kelas atau guru yang ditunjuk sebagai
pembina UKS/UKGS di sekolah dan telah dilatih tentang UKS/UKGS;
5) Dokter kecil adalah kader kesehatan sekolah yang biasanya berasal
dari murid kelas 4 dan 5 SD dan setingkat yang telah mendapatkan
pelatihan dokter kecil.

b. Definisi Operasional
Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat adalah cakupan
siswa kelas 1 SD dan setingkat yang diperiksa kesehatannya oleh tenaga
kesehatan atau tenaga terlatih (guru UKS/dokter kecil) melalui penjaringan
kesehatan di satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.

c. Langkah Kegiatan
1) Pengadaan dan Pemeliharaan UKS Kit, UKGS Kit;
2) Perencanaan kebutuhan anggaran, logistik, dan pelatihan;
3) Pelatihan petugas, guru UKS/UKGS, dan dokter kecil;
4) Pelayanan kesehatan;
5) Pencatatan dan Pelaporan.

d. Rujukan
1) Buku Pedoman UKS untuk Sekolah Dasar;
2) Buku Pedoman Penjaringan Kesehatan;
3) Buku Pedoman UKGS Murid Sekolah Dasar.
3. Cakupan Pelayanan Kesehatan Remaja

a. Pengertian
1) Pemeriksaan kesehatan remaja adalah pemeriksaan kesehatan siswa
kelas 1 SLTP dan setingkat, kelas 1 SMA dan setingkat melalui
penjaringan kesehatan terhadap murid kelas 1 SLTP dan Madrasah
Tsanawiyah, kelas 1 SMA/SMK dan Madrasah Aliyah yang
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bersama dengan guru UKS terlatih
dan kader kesehatan remaja secara berjenjang (penjaringan awal oleh
guru dan kader kesehatan remaja, penjaringan lanjutan oleh tenaga
kesehatan);
2) Tenaga kesehatan adalah tenaga medis, tenaga keperawatan, atau
tenaga Puskesmas lainnya yang telah dilatih sebagai tenaga pelaksana
UKS;
3) Guru UKS adalah guru kelas atau guru yang ditunjuk sebagai pembina
UKS di sekolah dan telah dilatih tentang UKS;
4) Kader Kesehatan Remaja adalah kader kesehatan sekolah yang biasa
nya berasal dari murid kelas 1 dan 2 SLTP dan setingkat, murid kelas 1
dan 2 SMA/SMK dan setingkat yang telah mendapatkan pelatihan
Kader Kesehatan Remaja.

b. Definisi Operasional
Cakupan pelayanan kesehatan remaja adalah cakupan siswa kelas 1
SLTP dan setingkat, SMA/SMK dan setingkat yang diperiksa
kesehatannya oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru UKS/
kader kesehatan sekolah) melalui penjaringan kesehatan di satu wilayah
kerja Puskesmas pada kurun watu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pengadaan dan Pemeliharaan UKS Kit;
2) Perencanaan kebutuhan anggaran, logistik, dan pelatihan;
3) Pelatihan petugas, guru UKS, dan dokter kecil;
4) Pelayanan kesehatan;
5) Pencatatan dan Pelaporan.
d. Rujukan
1. Buku Pedoman UKS untuk Sekolah Tingkat Lanjut;
2. Buku Pedoman Penjaringan Kesehatan.

C. Pelayanan Keluarga Berencana (Cakupan Peserta KB Aktif)
a. Pengertian
1) Peserta KB Aktif (Curent User/CU) adalah akseptor yang pada saat ini
memakai kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau yang
mengakhiri kesuburan;
2) Cakupan Peserta KB Aktif adalah perbandingan antara jumlah peserta
KB aktif (CU) dengan Pasangan Usia Subur (PUS);
3) Cakupan Peserta KB Aktif menunjukkan tingkat pemanfaatan
kontrasepsi diantara para Pasangan Usia Subur (PUS).
b. Definisi Operasional
Cakupan Peserta KB Aktif adalah cakupan peserta KB Aktif dibandingkan
dengan jumlah Pasangan Usia Subur di satu wilayah kerja Puskesmas pada
kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pendataan Sasaran;
2) Penyediaan Akses Pelayanan yang berkualitas;
3) Pemberian Pelayanan yang berkualitas;
4) Manajemen Kualitas Pelayanan :
a) Penyeliaan Fasilitatif;
b) Audit Medik;
c) Kajian Mandiri;
d) Quick Investigation of Quality (QIQ);
e) Manajemen Pengelolaan.
b. Rujukan
1) Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi (BP3K);
2) Panduan Buku Klinis Program Pelayanan KB;
3) Pedoman Penanggulangan Efek Samping/Komplikasi Kontrasepsi;
4) Pedoman Pelayanan Kontrasepsi Darurat;
5) Penyeliaan Fasilitatif Pelayanan KB;
6) Instrumen Kajian Mandiri Pelayanan KB;
7) Panduan Audit Medik Pelayanan KB;
8) Analisis Situasi dan Bimbingan Teknis Pengelolaan Pelayanan KB;
9) Paket Kesehatan Reproduksi.

D. Pelayanan Imunisasi Desa/Kelurahan (Universal Child Immunization/
UCI)
a. Pengertian
1) Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam
sistem Pemerintaan Nasional dan berada di daerah Kabupaten;
2) Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah
Kabupaten dan/atau daerah Kota dibawah Kecamatan (Undang-undang
No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah);
3) UCI (Universal Child Immunization) ialah tercapainya imunisasi dasar
secara lengkap pada bayi (0-11 bulan), Ibu hamil, Wanita Usia Subur
(WUS), dan anak sekolah tingkat dasar;
4) Imunisasi dasar lengkap pada bayi meliputi: 1 dosis BCG, 3 dosis
DPT, 4 dosis Polio, 4 dosis Hepatitis B, 1 dosis Campak; Ibu hamil
dan WUS meliputi 2 dosis TT. Anak sekolah tingkat dasar meliputi 1
dosis DT, 1 dosis Campak, 2 dosis TT.
b. Definisi Operasional
Desa atau Kelurahan UCI adalah Desa/Kelurahan dimana 80% dari jumlah
bayi yang ada di Desa/Kelurahan tersebut sudah mendapat imunisasi dasar
lengkap.
c. Langkah Kegiatan
1) Pengadaan dan Pemeliharaan Rantai Dingin:
Adalah upaya untuk menata vaksin kebutuhan program imunisasi dan
memelihara peralatan tempat penyimpanan vaksin di Puskesmas,
meliputi penerimaan/pengiriman vaksin dan penyimpanan vaksin;
2) Perencanaan Penyiapan Logistik:
Adalah perhitungan kebutuhan logistik (vaksin, alat suntik, safety box,
dan cold chain). Logistik yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan
sampai kepada sasaran merupakan penunjang dari keberhasilan
program imunisasi. Perencanaan Penyiapan Logistik meliputi:
a) Perhitungan kebutuhan vaksin di Puskesmas;
b) Kebutuhan penyimpanan vaksin seperti lemari es/freezer;
c) Kebutuhan tempat pendistribusian vaksin seperti vaksin carrier,
thermos;
d) Kebutuhan alat suntik ADS (Autodisable Syringe) sesuai dengan
sasaran dan kegiatan;
e) Kebutuhan alat penanganan limbah seperti safety box. needle
cutter, incinerator.
3) Pelayanan imunisasi :
Adalah suatu kegiatan pemberian imunisasi kepada sasaran (bayi,
anak, dan orang dewasa) yang bertujuan untuk menimbulkan/
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit.
Pelayanan imunisasi merupakan kegiatan yang meliputi:
a) Pendataan sasaran;
b) Penggerakan sasaran;
c) Pelaksanaan imunisasi;
d) Pencatatan dan Pelaporan.
4) Penagganan KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi)
Adalah suatu kegiatan penanggulangan kejadian sakit dan kematian
yang terjadi dalam satu bulan setelah imunisasi yang diduga ada
hubungannya dengan pemberian imunisasi, yang meliputi:
a) Kunjungan lapangan;
b) Investigasi/pelacakan;
c) Perawatan rujukan;
d) Pemeriksaan laboratorium;
e) Pengkajian kasus tersangka KIPI.
d. Rujukan
Pedoman Operasional Program Imunisasi, Tahun 2003 (3 buku).

E. Pelayanan Pengobatan/Perawatan
1. Cakupan Rawat Jalan
a. Pengertian
1) Rawat Jalan adalah pelayanan keperawatan kesehatan perorangan
yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan, rehabilitasi medik
tanpa tinggal di ruang rawat inap pada sarana kesehatan
Puskesmas;
2) Cakupan rawat jalan adalah jumlah kunjungan kasus baru rawat
jalan di sarana kesehatan Puskesmas dalam kurun waktu satu
tahun;
3) Kunjungan pasien baru adalah seseorang yang baru berkunjung ke
sarana kesehatan Puskesmas dengan kasus penyakit baru;
4) Sarana kesehatan Puskesmas adalah tempat pelayanan kesehatan
meliputi Puskesmas, Puskesmas Dengan Tempat Perawatan (DTP),
Puskesmas Pembantu, Balai pengobatan pemerintah dan swasta,
Praktik bersama dan perorangan.
b. Definisi Operasional
Cakupan rawat jalan adalah cakupan kunjungan rawat jalan baru di
sarana kesehatan pemerintah dan swasta di satu wilayah kerja
Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pendataan penduduk, sarana kesehatan, dan kunjungan ke sarana
kesehatan di wilayah kerja Puskesmas;
2) Peningkatan prasarana dan sarana pelayanan kesehatan;
3) Analisis kebutuhan pelayanan kesehatan;
4) Penyuluhan-Promosi Kesehatan;
5) Pelatihan SDM Puskesmas;
6) Pencatatan dan Pelaporan.
d. Rujukan
Pedoman Pengobatan Puskesmas.
2. Cakupan Rawat Inap
a. Pengertian
1) Rawat Inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi
observasi, diagnosa, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik
dengan menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan
Puskesmas Dengan Tempat Perawatan, yang oleh karena
penyakitnya penderita harus menginap;
2) Penderita adalah seseorang yang mengalami/menderita sakit atau
mengidap suatu penyakit;
3) Fasilitas pelayanan kesehatan adalah Puskesmas dengan tempat
perawatan.
b. Definisi Operasional
Cakupan rawat inap adalah cakupan kunjungan rawat inap baru di
sarana pelayanan kesehatan Puskesmas Dengan Tempat Perawatan di
satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pendataan penduduk, sarana kesehatan, dan kunjungan ke sarana
kesehatan;
2) Peningkatan prasarana dan sarana pelayanan kesehatan;
3) Analisis kebutuhan pelayanan kesehatan;
4) Penyuluhan-Promosi Keseatan;
5) Pelatihan SDM Puskesmas;
6) Pencatatan dan Pelaporan.
d. Rujukan
Pedoman Puskesmas Dengan Tempat Perawatan.
F. Pelayanan Kesehatan Jiwa (Pelayanan Gangguan Jiwa di Sarana
Pelayanan Umum)
a. Pengertian
1) Pelayanan gangguan jiwa adalah pelayanan pada pasien yang
mengalami gangguan kejiwaan, yang meliputi gangguan pada
perasaan, proses pikir, dan perilaku, yang menimbulkan penderitaan
pada individu dan/atau hambatan dalam melaksanakan peran
sosialnya;
2) Pelayanan kesehatan jiwa meliputi pelayanan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif pada gangguan mental emosional,
psikosomatik, dan psikotik pada ibu hamil, ibu nifas, bayi, anak balita,
pra-sekolah, anak usia sekolah, remaja, dewasa, dan usia lanjut, yang
diberikan oleh Dokter, Perawat, Bidan yang memiliki kompetensi
teknis.
b. Definisi Operasional
Pelayanan gangguan jiwa di sarana kesehatan umum adalah kasus
gangguan jiwa yang dilayani di sarana pelayanan kesehatan umum di satu
wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Penemuan kasus gangguan jiwa berdasarkan klasifikasi ICD-X;
2) Pelayanan kasus gangguan jiwa;
3) Pelatihan;
4) Kunjungan rumah;
5) Pemantauan dan Penilaian;
6) Pencatatan dan Pelaporan.
d. Rujukan
1) Pedomana Kesehatan Jiwa bagi Petugas Kesehatan;
2) Pedoman Penatalaksanaan Gangguan Jiwa di Sarana Kesehatan Umum
G. Pemantauan Pertumbuhan Balita
1. Balita yang naik berat badannya
a. Pengertian
Balita yang naik berat badannya (N) adalah Balita ditimbang 2 (dua)
bulan berturut-turut naik berat badannya dan mengikuti garis
pertumbuhan pada KMS.
b. Definisi Operasional
Balita yang naik berat badannya (N) adalah Balita yang ditimbang (D)
di Posyandu maupun luar Posyandu yang berat badannya naik di satu
wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pengadaan dan pemeliharaan sarana terdiri dari alat timbang,
pengadaan daftar tilik, formulir rujukan, R1 Gizi, LB3-SIMPUS;
2) Perencanaan logistik, pelaksanaan kegiatan dan pengambilan
laporan;
3) Pelaksanaan pemantauan pertumbuhan di Posyandu dan di luar
Posyandu;
4) Bimbingan teknis.
d. Rujukan
1) Pedoman UPGK;
2) Pedoman Pengisian KMS;
3) Pedoman Pemantauan Pertumbuhan Balita.
2. Balita Bawah Baris Merah (BGM)
a. Pengertian
Balita Bawah Garis Merah (BGM) adalah Balita yang ditimbang berat
badannya berada pada garis merah atau di bawah garis merah pada
KMS.
b. Definisi Operasional
Balita Bawah garis Merah (BGM) adalah balita BGM yang ditemukan
di satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pengadaan dan pemeliharaan alat ukur berat badan dan KMS,
pengadaan daftar tilik dan formulir rujukan;
2) Perencanaan penyiapan logistik;
3) Pelacakan BGM melalui pemantauan pertumbuhan di Posyandu
dan di luar Posyandu;
4) Bimbingan teknis.
d. Rujukan
1) Pedomana UPGK;
2) Pedoman pengisian KMS;
3) Pedoman Pemantauan Pertumbuhan Balita.
H. Pelayanan Gizi
1. Cakupan Balita Mendapat Kapsul Vitamin A 2 kali pertahun
a. Pengertian
1) Balita yang dimaksud dalam program distribusi kapsul vitamin A
adalah bayi yang berumur mulai 6-11 bulan dan anak umur 12-59
bulan yang mendapat kapsul vitamin A dosis tinggi;
2) Kapsul vitamin A dosis tinggi terdiri dari kapsul vitamin A
berwarna biru dengan dosis 100.000 S.I. yang diberikan kepada
bayi umur 6-11 bulan dan kapsul vitamin A berwarna merah
dengan dosis 200.000 S.I yang diberikan kepada anak umur 12-59
bulan.
b. Definisi Operasional
Cakupan balita mendapat kapsul vitamin A adalah cakupan bayi 6-11
bulan mendapat kapsul vitamin A satu kali dan anak umur 12-59 bulan
mendapat kapsul vitamin A dosis tinggi 2 kali per tahun di satu
wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pendataan sasaran balita (Baseline data);
2) Perencanaan kebutuan vitamin A;
3) Pengadaan dan pendistribusian kapsul vitamin A;
4) Sweeping pemberian kapsul vitamin A;
5) Penggadaan Buku Pedoman dan Juknis;
6) Pemantauan dan Penilaian
d. Rujukan
1) Pedoman Akselerasi Cakupan Kapsul Vitamin A, Depkes RI,
Tahun 2000;
2) Pedoman Pemberian Kapsul Vitamin A, Depkes RI, tahun 2000;
3) Booklet Deteksi Dini Xerophtalmia, Depkes RI Tahun 2002;
4) Pedoman dan Deteksi Tatalaksana Kasus Xerophtalmia, Depkes RI
Tahun 2002.
2. Cakupan Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe
a. Pengertian
1) Ibu hamil adalah ibu yang mengandung mulai trimester I s/d
trimester III;
2) Tablet Fe adalah tablet tambah darah untuk menaggulangi Anemia
Gizi Besi yang diberikan kepada Ibu hamil.
b. Definisi Operasional
Cakupan Ibu hamil mendapat tablet Fe adalah cakupan ibu hamil yang
mendapat 90 tablet Fe selama periode kehamilannya di satu wilayah
kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pendataan sasaran ibu hamil (Baseline data);
2) Perencanaan kebutuhan tablet Fe;
3) Pengadaan dan pendistribusian tablet Fe;
4) Pengadaan Buku Pedoman dan Juknis;
5) Pemantauan dan Penilaian.
d. Rujukan
1) Pedoman Pemberian Tablet Besi–Folat dan Sirup besi bagi
Petugas, Depkes RI tahun 1999;
2) Booklet Anemia Gizi dan Tablet Tambah Darah untuk WUS,
Depkes RI, Tahun 2001.
3. Cakupan Pemberian Makanan Pendamping ASI pada Bayi Bawah
Garis Merah dari Keluarga Miskin
a. Pengertian
1) Bayi Bawah Garis Merah (BGM) keluarga miskin adalah bayi usia
6-11 bulan yang berat badannya berada pada garis merah atau di
bawah garis merah pada KMS;
2) Keluarga Miskin ( Gakin) adalah keluarga yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Tim Koordinasi
Kabupaten/Kota (TKK) dengan melibatkan Tim Desa dalam
mengidentifikasi dan alamat Gakin secara tepat, sesuai dengan
kriteria Gakin yang disepakati;
3) MP-ASI dapat berbentuk bubur, nasi tim, dan biskuit yang dapat
dibuat dari campuran beras, dan/atau beras merah, kacangkacangan,
sumber protein hewani/nabati, terigu, margarine, gula,
susu, lesitin kedelai, garam bikarbonat, dan diperkaya dengan
vitamin dan mineral.
c. Definisi Operasional
Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi BGM dari
keluarga miskin adalah pemberian MP-ASI dengan porsi 100 gram
perhari selama 90 hari.
d. Langkah Kegiatan
1) Pendataan sasaran;
2) Penyusunan Spesifikasi dan Pedoman Pengelolaan MP-ASI untuk
bayi usia 6-11 bulan dan anak usia 12-23 bulan;
3) Pelatihan tenaga pelaksanaan program MP-ASI;
4) Sosialisai program MP-ASI;
5) Distribusi MP-ASI;
6) Pencatanan dan Pelaporan;
7) Pemantauan dan Penilaian.
e. Rujukan
Pedoman Pengelolaan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)
untuk bayi usia 6-11 bulan dan Spesifikasi MP-ASI, Tahun 2004.
2. Balita Gizi Buruk Mendapat Perawatan
a. Pengertian
1) Balita adalah anak usia di bawah lima tahun (0 tahun sampai
dengan 4 tahun 11 bulan), yang ada di wilayah kerja Puskesmas;
2) Gizi buruk adalah status gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi
badan (TB) dengan Z score < - 3, dan/atau dengan tanda-tanda
klinis (marasmus, kwasiorkor, dan marasmus-kwasiorkor);
3) Perawatan sesuai standar yaitu pelayanan yang diberikan
mencakup :
a) Pemeriksaan klinis meliputi kesadaran, dehidrasi,
hipoglikemia, dan hipotermia;
b) Pengukuran antropometri menggunakan parameter BB dan TB;
c) Pemberian elektrolit dan multi-micronutrient serta memberikan
makanan dalam bentuk, jenis, dan jumlah yang sesuai
kebutuhan, mengikuti fase stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi;
d) Diberikan pengobatan sesuai penyakit penyerta;
e) Ditimbang setiap minggu untuk memantau peningkatan BB
sampai mencapai Z score – 1;
f) Konseling gizi kepada orang tua/pengasuh tentang cara
pemberian anak
b. Definisi Operasional
Balita gizi buruk mendapat perawatan adalah balita gizi buruk yang di
tangani di sarana pelayanan kesehatan sesuai tatalaksana gizi buruk di
satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu
c. Langkah Kegiatan
1) Perencanaan penyiapan sarana/prasarana;
2) Pelatihan tenaga kesehatan;
3) Pelayanan kasus;
4) Pemantauan dan Penilaian.
d. Rujukan
1) Pedoman Tatalaksana KEP pada Anak di Rumah Sakit Kabupaten/
Kota, 1998;
2) Pedoman Tatalaksana KEP pada Anak di Puskesmas dan Rumah
Tangga , 1998;
3) Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk, 2003;
4) Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk, 2003;
5) Panduan Pelatihan Tatalaksana Anak Gizi Buruk, 2003;
6) Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit, 2003;
7) Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
I. Pelayanan Kesehatan Rujukan dan Penunjang
Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergesi Dasar dan Komperhensif
(PONED dan PONEK)
1. Akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk
menangani rujukan ibu hamil dan neonatus
a. Pengertian
1) Akses ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk
menangani rujukan ibu hamil dan neonatus adalah ibu hamil, post
partum, dan neonatus komplikasi dirujuk yang memperoleh
pelayanan transfusi darah sesuai kebutuan dengan memanfaatkan
persediaan darah serta komponen yang aman pada UTD PMI, UTD
RS, dan Bank Darah RS di satu wilayah kerja Puskesmas;
2) Ibu hamil adalah ibu yang mengandung sampai usia kehamilan 42
minggu;
3) Neonatus adalah bayi baru lahir dengan usia 0-28 hari;
4) Darah dan komponen yang aman adalah darah dan komponennya
yang sudah melalui uji saring darah donor terhadap IMLTD
(Infeksi Mmenular Lewat Transfusi Darah), yaitu VDRL ( Veneral
Disease Research Laboratory), HbsAg, dan anti HIV dengan
proses uji silang serasi (crossmatching) antara darah donor dengan
darah resipien.
b. Definisi Operasional
Akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk
menangani rujukan ibu hamil dan neonatus adalah ibu hamil, post
partum, dan neonatus yang dirujuk dan mendapatkan darah yang aman
dan sesuai kebutuhannya di rumah sakit pemerintah dan swasta.
c. Langkah Kegiatan
1) Pelatihan tenaga pengerah dan pelestari donor, Dokter yang
bekerja di bidang transfusi darah, asisten teknologi transfusi darah
yang bekerja di UTD atau Bank Darah RS;
2) Pembuatan dan penyimpanaan darah dan komponen darah, uji
saring, identifikasi antibody (PTTD/ATD), meliputi :
a) Seleksi darah;
b) Pengambilan darah;
c) Pengolahan komponen darah;
d) Pemeriksaan uji saring infeksi menular lewat transfusi;
e) Pemeriksaan serologi golongan darah;
f) Penyimpanan darah;
g) Distribusi darah.
d. Rujukan
1) Buku Pedoman Pelayanan Transfusi Darah (4 Modul);
2) Buku Pedoman Survei Akreditasi Unit Tranfusi Darah;
3) Standar Pelayanan Darah Rumah Sakit;
4) Pedoman Penggunaan Darah Yang Rasional;
5) Buku Pedoman Pemeriksaan Imunologi;
6) Buku Petujuk Pemeriksaan HIV;
7) Buku Pedoman Praktik Laboratorium Yang Benar (GLP).
2. Ibu Hamil Risiko Tinggi/Komplikasi yang tertangani
a. Pengertian
1) Ibu hamil Risti/Komplikasi adalah keadaan penyimpangan dari
normal, yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan
kematian ibu maupun bayi. Risti/Komplikasi Kebidanan meliputi
Anemia (Hb < 8 gr %), Tekanan darah tinggi ( sistole > 140
mmHg, diastole > 90 mmHg), Edema nyata, Eklampsia,
Perdarahan pervaginam, Ketuban pecah dini, Letak Lintang pada
usia kehamilan > 32 minggu, Letak sungsang pada primigravida,
Infeksi berat/Sepsis, dan Persalinan prematur.
2) Ibu hamil Risti/Komplikasi yang tertangani adalah ibu hamil Risti
yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
a. Definisi Operasional
Ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang tertangani adalah ibu hamil
risiko tinggi/komplikasi di satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun
waktu tertentu yang ditangani sesuai dengan standar oleh tenaga
kesehatan terlatih di Puskesmas Perawatan dan Rumah Sakit
pemerintah/swasta dengan fasilitas PONED dan PONEK.
b. Langkah Kegiatan
1) Pelatihan;
2) Pemantapan Audit Maternal Perinatal (AMP);
3) Penyediaan sarana peralatan, obat esensial, dan ambulan;
4) Rujukan pasien, tenaga medis, dan spesimen.
c. Rujukan
1) Pedoman Audit Maternal Perinatal (AMP);
2) Buku Panduan Praktis Pelayanan kesehatan maternal dan Neonatal;
3) Pedoman PONED dan PONEK;
4) Pedoman Asuhan Kehamilan;
5) Standar Asuhan Persalinan Normal;
6) Standar Pelayanan Kebidanan;
7) Standar Asuhan Kebidanan dan Neonatal;
8) Dasar-dasar asuhan Kebidanan.
3. Neonatus Risti/Komplikasi yang tertangani
a. Pengertian
1) Neonatus adalah bayi baru lahir sampai usia 28 hari;
2) Neonatus Risti/komplikasi adalah neonatus dengan penyimpangan
dari normal yang dapat menyebabkan kesakitan dan kematian
neonatus, meliputi: Asfiksia, Tetanus Neonatorum, Sepsis, Trauma
Lahir, BBLR (Berat Badan Lahir < 2500 gram), Sindroma
gangguan pernafasan, dan kelainan congenital.
3) Neonatus Risti/komplikasi yang bertangani adalah neonatus Risti/
komplikasi yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan yang
terlatih.
b. Definisi Operasional
Neonatus Risti/komplikasi yang tertangani adalah cakupan neonatus
risiko tinggi/komplikasi di satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun
waktu tertentu yang ditangani sesuai dengan standar oleh tenaga
kesehatan terlatih di Puskesmas Perawatan dan Rumah Sakit
pemerintah/swasta.
c. Langkah Kegiatan
1) Pelatihan;
2) Pemantapan Audit Maternal Perinatal (AMP);
3) Penyediaan sarana peralatan, obat esensial, dan ambulan;
4) Rujukan pasien, tenaga medis, dan spesimen.
d. Rujukan
1) Pedoman Pelayanan Perinatal Pada RSU Kelas C dan D;
2) Pedoman Manajemen Neonatal untuk RS Kabupaten/Kota;
3) Pedoman Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir;
4) Pedoman Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM);
5) Pedoman Manajemen Terpadu Bayi Sakit (MTBS);
6) Buku KIA.
J. Pelayanan Gawat Darurat
Sarana Kesehatan dengan Kemampuan Pelayanan Gawat Darurat yang
dapat diakses Masyarakat
a. Pengertian
1) Sarana Kesehatan adalah Rumah Bersalin (RB), Puskesmas, dan
Rumah Sakit;
2) Kemampuan Pelayanan Gawat Darurat adalah upaya cepat dan tepat
untuk segera mengatasi puncak kegawatan yaitu henti jantung dengan
Resusitasi Jantung Paru Otak (Cardio-Pulmanary-Cerebral-
Resucitation) agar kerusakan organ yang terjadi dapat dihindarkan atau
ditekan sampai minimal dengan menggunkan Bantuan Hidup Dasar
(Basic Life Support) dan Bantuan Hidup Lanjutan (ALS).
b. Definisi Operasional
Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat
diakses masyarakat adalah cakupan sarana kesehatan yang telah
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pelayanan gawat darurat
sesuai standar dan dapat diakses oleh masyarakat dalam kurun waktu
tertentu.
c. Langkah Kegiatan
Pelatiahan GELS/BLS, Gawat Darurat untuk Dokter, Perawat, dan Awam.
d. Rujukan
1) Pedoman Safe Community;
2) Pedoman Penyusunan Peta Geomedik;
3) Pedoman Evakuasi Medik;
4) Standar Klasifikasi Pelayanan Gawat Darurat Pra Rumah Sakit dan
Rumah Sakit;
5) Standar pelayanan Gawat Darurat/Instrument Self Assessment
Pelayanan Gawat Darurat Rumnah Sakit;
6) Standar Pelayanan Gawat Darurat/Instrument Self Assessment
Pelayanan Perinatal Risiko Tinggi Rmah Sakit;
7) Pedoman PONED dan PONEK;
8) Standar medis Teknis A,B,C,D;
9) Standar Medis Teknis esensial.
K. Penyelenggaraan Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Gizi Buruk
1. Desa/Kelurahan mengalami KLB yang ditangani < 24 jam
a. Pengertian
Desa/Kelurahan mengalami KLB bila terjadi peningkatan kesakitan
atau kematian penyakit potensial KLB, penyakit karantina atau
keracunan makanan. KLB adalah timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara
epidemiologi pada suatu desa/kelurahan dalam waktu tertentu.
1) Ditangani adalah mencakup penyelidikan dan penanggulangn
KLB;
2) Pengertian < 24 jam adalah sejak laporan W1 (Laporan Wabah)
diterima sampai penyelidikan dilakukan dengan catatan selain
formulir W1 dapat juga berupa faks atau telepon;
3) Penyelidikan KLB: Rangkaian kegiatan berdasarkan cara-cara
epidemiologi untuk memastikan adanya suatu KLB, mengetahui
gambaran penyebaran KLB dan mengetahui sumber dan cara-cara
penanggulanganya;
4) Penanggulangan KLB: Upaya untuk menemukan penderita atau
tersangka penderita, penatalaksanaan penderita, pencegahan
peningkatan, perluasan, dan menghentikan suatu KLB.
b. Definisi Operasional
Desa/Kelurahan mengalami KLB yang ditangani adalah Kejadian Luar
Biasa (KLB) yang ditangani < 24 jam pada suatu desa/kelurahan di
satu wilayah kerja Puskesmas dalam kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pemastian KLB
Untuk memastikan adanya KLB bisa melakukan komunikasi cepat
dan dilakukan kunjungan lokasi yang diinformasikan adanya KLB,
dengan menyamakan kondisinya dengan kriteria KLB. Atau
melakukan hubungan telepon dengan kontak person yang ada di
lapangan dimana informasi KLB tadi didapat. Apakah perlu
dilakukan investigasi dari yang lebih atas atau tidak atau cukup
oleh Puskesmas setempat. Mengirim W1 dan laporan sementara
kondisi KLB.
2) Investigasi
Investigasi ini diperlukan untuk memastikan apakah betul telah
terjadi KLB yang dimaksud. Sebelum investigasi dilakukan
diperlukan konfirmasi ke lokasi melalui hubungan cepat.
3) Penanggulangan
Pada kegiatan penanggulangan diperlukan dukungan semua pihak
Pemda, teknis, dan keahlian. Hal ini tujuannya agar KLB tidak
menjadi lebih berat atau korban lebih banyak lagi dan KLB dapat
dihentikan. Kegiatan yang dilakukan mengidentifikasi semua;
4) faktor risiko terjadinya KLB tersebut.
Pemutusan mata rantai penularan
Kegiatan ini untuk menghentikan KLB, dengan memutus mata
rantau penularan misalnya kalau KLB DBD dengan melakukan
3M. fogging, penyuluhan-promosi kesehatan, dan sebagainya.
5) Pengamanan pasca KLB
Dengan memantau vektor atau kemungkinan kasus bertambah,
pemantauan pasca KLB ini biasanya dua periode masa inkubasi
penyakit yang bersangkutan.
d. Rujukan
1) UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular;
2) PP No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular;
3) Kep Menkes No.1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan;
4) Kep Menkes No.1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Surveilans
Terpadu Penyakit.
2. Kecamatan Bebas Rawan Gizi
a. Pengertian
1) Kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah
Kabupaten dan/atau daerah Kota di bawah Kabupaten/Kota;
2) Gizi kurang: Status gizi diukur berdasarkan berat badan menurut
umur (Z score < -2 sampai dengan –3);
3) Gizi buruk: Status gizi yang diukur berdasarkan berat badan
menurut umur (Z score terletak < -3), dan/atau disertai tanda klinis
kwasiorkor, marasmus, marasmus-kwasiorkor);
4) KLB Gizi buruk, bila ditemukan 1 kasus gizi buruk menurut BB/U
dan dikonfirmasi dengan BB/TB, Z score < -3 dan/atau disertai
dengan tanda-tanda klinis;
5) Kecamatan bebas rawan gizi, bila prevalensi gizi kurang dan gizi
buruk < 15 %.
b. Definisi Operasional
Kecamatan bebas rawan gizi adalah kecamatan dengan prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk pada balita < 15 % pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pemantauan status gizi;
2) Penyelidikan dan penanggulangan KLB Gizi.
d. Rujukan
1) Buku Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi;
2) Buku Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi (PSG) Anak Balita;
3) SK Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang
Klasifikasi Status Gizi Anak di bawah lima tahun (Balita).
L. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Polio
Acute Flacid Paralysis (AFP) Rate per 100.000 penduduk < 15 tahun
a. Pengertian
1) Kasus AFP adalah penderita lumpuh layuh akut seperti gejala
kelumpuhan pada polio yang terjadi pada anak di bawah umur 15
tahun;
2) Kasus AFP non-polio adalah penderita lumpuh layuh pada anak usia di
bawah 15 tahun yang dalam pemeriksaan tidak ditemukan virus polio
liar atau yang ditetapkan oleh ahli dengan kriteria tertentu.
b. Definisi Operasional
Acute Flacid Paralysis (AFP) Rate per 100.000 penduduk adalah jumlah
kasus APF non polio ynag ditemukan diantara 100.000 penduduk < 15
tahun di satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Sosialisasi:
Untuk mendapatkan dukungan/komitmen lintas program dan lintas
sektor.
2) Pencarian kasus:
Menjaring semua anak < 15 tahun yang lumpuh layuh apapun
penyebabnya untuk diambil spesimennya sebagai langkah untuk
memastikan apakah polio atau bukan.
3) Pengambilan spesimen:
Pengambilan spesimen tinja 2 kali sebagai bahan pemeriksaan dalam
rangka memastikan apakah ada virus polio atau apakah kasus polio
atau bukan.
4) Kunjungan ulang
Kunjungan ulang dilakukan setelah 60 hari dari anak mulai sakit
apakah masih lumpuh atau tidak sebagai pemastian apakah dia sebagai
kasus polio atau bukan.
d. Rujukan
1) Buku Rujukan Eradikasi Polio di Indonesia, Tahun 2002;
2) Modul Pelatihan.
M. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru
Kesembuhan Penderita TBC BTA Positif
a. Pengertian
1) Kesembuhan adalah penderita yang minum obat lengkap dan
pemeriksaan sputum secara mikroskopis minimal 2 kali berturut-turut
terakhir dengan hasil negatif;
2) Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukan persentase
penderita TBC BTA positif yang sembuh setelah selesai masa
pengobatan, diantara penderiata TBC BTA positif yang tercatat;
3) Angka penemuan penderita TBC BTA positif atau Case Detection
Rate (CDR) adalah persentase jumlah penderita baru BTA positif yang
ditemukan dibandingkan jumlah penderita baru BTA positif yang
diperkirakan ada dalam wilayah kerja Puskesmas;
4) Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT
(Obat Anti Tuberkulosis) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari
satu bulan (30 dosis harian).
b. Definisi Operasional
Kesembuhan penderita TBC BTA positif adalah penderita baru TBC BTA
positif yang sembuh diakhir pengobatan 85% di satu wilayah kerja
Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Penatalaksanaan P2 TBC:
a) Penemuan penderita TB
Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang
berkunjung ke unit pelayanan kesehatan Puskesmas. Penemuan
secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan-promosi secara
aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini
biasanya dikenal dengan passif promotive case finding;
b) Pengobatan
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis,
dalam jumah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan supaya semua
kuman dapat dibunuh. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap,
yaitu tahap intensif dan lanjutan;
2) Peningkatan SDM:
Pelatihan diberikan kepada semua tenaga kesehatan yang terkait
dengan program penanggulangan TBC, diantaranya:
a) Pelatihan Dokter dan paramedis UPK (RS, Puskesmas, BP4,
RSTP, Poliklinik, dan sebagainya);
b) Pelatihan staf Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota;
c) Pelatihan Wasor TB Kabupaten/Kota.
3) Pemantauan dan Penilaian:
a) Supervisi :
(1) Supervisi dilaksanakan secara rutin, teratur, dan terencana;
(2) Supervisi ke UPK (misalnya Puskesmas, RS, BP4, termasuk
Laboratorium) dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 bulan
sekali;
(3) Supervisi ke Kabupaten/Kota dilaksanakan sekurangkurangnya
6 bulan sekali.
b) Pertemuan Pemantauan
Pertemuan Pemantauan dilaksanakan secara berkala dan terus
menerus untuk dapat segera medeteksi bila ada masalah dalam
pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat
dilakukan tindakan perbaikan segera.
c) Penilaian
Penilaian dilakukan setelah suatu jarak waktu lebih lama, biasanya
setiap 6 bulan sampai dengan 1 tahun. Dengan penilaian dapat
dinilai sejauhmana tujuan dan target yang telah ditetapkan
sebelumnya dicapai.
4) Promosi
a) Advokasi;
b) Kemitraan;
c) Penyuluhan
d. Rujukan
Pedoman Nasional Penaggulangan Tuberkolosis
N. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA
Cakupan Balita dengan Pneumonia yang ditangani
a. Pengertian
1) Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paruparu
(alveoli) yang ditandai dengan batuk disertai napas cepat dan/atau
napas sesak;
2) Klasifikasi penyakit ISPA
Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok,
yaitu kelompok untuk umur 2 bulan sampai < 5 tahun dan kelompok
untuk umur < 2 bulan.
a) Untuk kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun klasifikasi di bagi
atas: Pneumonia berat, Pneumonia, dan bukan Pneumonia;
b) Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas:
Pneumonia berat dan bukan Pneumonia. Dalam pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) klasifikasi pada
kelompok umur < 2 bulan adalah infeksi bakteri yang serius dan
infeksi bakteri lokal;
c) Klasifikasi Pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk
dan/atau kesukan bernapas disertai napas sesak atau tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak
usia 2 bulan sampai < 5 tahun. Untuk kelompok umur < 2 bulan
diagnosis Pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat
(fast breathing) yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per
menit atau lebih, adanya tarikan yang kuat pada dinding dada
bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing);
d) Klasifikasi Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan/atau
kesukaran bernapas disertai adanya frekuensi napas sesuai umur.
Batas napas cepat pada anak usia 2 bulan sampai < 1 tahun adalah
50 kali per menit dan 40 kali per menit untuk anak usia 1 sampai <
5 tahun;
e) Klasifikasi bukan Pneumonia mencakup kelompok penderita balita
dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan
frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam. Dengan demikian klasifikasi bukan
Pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain di luar
Pneumonia seperti batuk pilek, bukan Pneumonia (common cold,
pharyngitis, tonsillitis, dan otitis);
f) Pola tatalaksana ISPA hanya dimaksudkan untuk tatalaksana
penderita Pneumonia berat, Pneumonia, dan batuk bukan
Pneumonia. Sedangkan penyakit ISPA lain seperti pharyngitis,
tonsillitis, dan otitis sesuai SOP yang berlaku di Puskesmas.
a. Definisi Operasional
Cakupan balita dengan Pneumonia yang ditangani adalah cakupan balita
dengan Pneumonia yang ditangani sesuai standar di satu wilaya kerja
Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
b. Langkah Kegiatan
1) Penatalaksanaan kasus:
Penatalaksanaan kasus dilaksanakan di sarana kesehatan pertama
mulai dari Polindes/Poskesdes, Posyandu, Pustu, dan Puskesmas.
Dimulai dari deteksi kasus, melalui anamnesa, pemeriksaan
(menggunakan alat bantu hitung napas/ARI Sound Timer) sampai
dengan pengobatan (Parasetamol, Kotrimoksasol, atau Amosisilin), di
dalam pengobatan ini pasien setelah diberikan obat antibiotik 2 hari,
harus ditindak lanjuti (follow up) dengan kunjungan rumah untuk
assessment untuk melihat perkembangan kasus, sekaligus petugas
memeriksa adanya faktor risiko di lingkungan rumah.
2) Peningkatan SDM
Peningklatan SDM khususnya dalam tatalaksana kasus dan
pengelolaan/manajemen pemberantasan penyakit ISPA (Manajemen
P2 ISPA). Dalam meningkatkan kemampuan deteksi kasus dan
tatalaksana kasus, tenaga kesehatan di Puskesmas memerlukan
Pelatihan Tatalaksana Kasus ISPA atau pelatihan yang dilaksanakan
secara terpadu dengan program lain melalui Pelatihan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS). Sedangkan pelatihan Manajemen P2
ISPA diperlukan untuk penanggung jawab P2 ISPA di Kabupaten/
Kota.
3) Monitoring dan Evaluasi:
Monitoring dilaksanakan oleh petugas Dinas Kesehatan Kabupaten
untuk melakukan pemantauan dan bimbingan teknis dalam dua hal
yaitu;
a) Tatalaksana kasus/pelayanan yang diberikan kepada setiap balita
ISPA yang berobat ke Puskesmas.
b) Manajemen, yang meliputi pencatatan dan pelaporan sampai
analisis sebagai bahan perencanaan, pelaksanaan intervensi dan
evaluasi dalam P2 ISPA di satu wilayah kerja Puskesmas.
4) Promosi/Penyuluhan;
5) Kemitraan.
d. Rujukan
1) Kep.Menkes RI No. 1537.A/Menkes/SKXII/2002 tentang Pedoman
Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut untuk
Pernanggulangan Pneumonia Pada balita;
2) Buku Tatalaksana Penyakit ISPA pada Anak.
O. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV/AIDS
1. Klien yang mendapatkan Penanganan HIV/AIDS
a. Pengertian
1) AIDS adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh;
2) HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang
lama-kelamaan akan mengakibatkan AIDS;
3) Penderita HIV/AIDS adalah penderita yang mempunyai gejala
(untuk keperluan survailans) sebagai berikut :
a) Dewasa (> 12 tahun), apabila :
Test HIV (+) dan ditemukan 2 gejala mayor dan 1 gejala
minor;
Ditemukan Sarkoma Kaposi atau Pneumonia pneumocystis
carinii;
b) Anak-anak (< 12 tahun), apabila :
Jika umur > 18 bulan, test HIV (+), dan ditemukan 2 gejala
mayor dan 2 gejala minor;
Jika umur < 18 bulan, test HIV (+), dan ditemukan 2 gejala
mayor dan 2 gejala minor dengan ibu yang HIV (+)
4) Tatalaksana HIV/AIDS dimaksud :
a) Voluntary Counseling Testing (VCT) adalah kegiatan test
konseling secara sukarela;
b) Perawatan orang sakit dengan HIV/AIDS;
c) Pengobatan Anti Retro Viral (ARV);
d) Pengobatan Infeksi Oportunistik;
e) Rujukan kasus spesifik
b. Definisi Operasional
Klien yang mendapatkan penanganan HIV/AIDS adalah klien yang
mendapat penanganan HIV/AIDS sesuai standar di satu wilayah kerja
Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pengobatan dan Perawatan ODHA:
a) Advokasi kebijakan kepada stakeholder tentang ketersediaan
obat ARV dan infeksi Oportunistik;
b) Pelatihan petugas kesehatan tentang tatalaksana serta konseling
HIV/AIDS;
c) Mengembangkan klinik VCT;
d) Mengembangkan sentra-sentra pengobatan dan laboratorium
yang terintegrasi dengan sistem pelayanan;
e) Memberikan pengobatan preventif kepada ibu hamil dengan
HIV untuk pencegahan penularan dari ibu ke bayi (PMTCT);
f) Menyediakan ARV dan infeksi Oportunistik.
2) Peningkatan Gaya Hidup Sehat;
3) Peningkatan SDM:
Peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan petugas
kesehatan.
d. Rujukan
1) Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan bagi
ODHA;
2) Pedoman Pengobatan ARV;
3) Renstra Penanggulangan HIV/AIDS tahun 2003-2007;
4) Buku Survailans HIV/AIDS.
2. Infeksi Menular Seksual yang diobati
a. Pengertian
Penyakit Menular Seksual (PMS) atau biasa disebut penyakit kelamin
adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Yang termasuk PMS adalah Syphillis, Gonorhoe, Bubo, Jengger ayam,
Herpes, dan lain-lain termasuk HIV/AIDS.
b. Definisi Operasional
Infeksi Menular Seksual (IMS) yang diobati adalah kasus infeksi
menular seksual yang ditemukan berdasarkan syndrome dan etiologi
serta diobati sesuai standar di satu wilayah kerja Puskesmas pada
kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pengobatan IMS
a) Advokasi;
b) Meningkatkan KIE pencegahan IMS, pemeriksaan dan
pengobatan secara dini;
c) Pendidikan dan Pelatihan bagi petugas kesehatan dalam
tatalaksana IMS;
d) Mengembangkan Klinik IMS di Lokasi/Lokalisasi penjaja seks
(PS);
e) Pemeriksaan IMS berkala kepada para PS dan pramuria di
lokasi, lokalisasi, bar, karaoke, panti pijat.
2) Peningkatan Gaya Hidup Sehat:
a) Meningkatkan tingkat pendidikan dasar dari anak, pemuda, dan
remaja khususnya anak perempuan;
b) KIE di sekolah dan tempat kerja termasuk life skill education;
c) Perlindungan dan KIE kepada keluarga dan kelompok
penduduk yang menghadapi masalah sosial;
d) Kerjasama dan Koordinasi dengan media massa dan
perusahaan advertensi untuk KIE pada masyarakat umum;
e) KIE dan perlindungan anggota militer dan polisi;
f) KIE dan pelayanan kesehatan di Lapas.
3) Promosi dan distribusi kondom:
a) Melakukan social marketing dan meningkatkan akses kondom
kepada WPS dan pelanggannya;
b) Meningkatkan ketersediaan kondom, memperluas jaring
distribusinya melalui swasta, LSM, dan pemerintah;
c) Meningkatkan KIE tentang manfaat penggunaan kondom;
d) Meningkatkan kualitas kondom.
4) Promosi Perilaku Seksual Aman:
a) Advokasi kepada pengambil keputusan;
b) Mengembangkan proyek-proyek panduan penggunaan kondom
100%
c) Melaksanakan KIE secara sistematis dan bijakasana tentang
penggunaan kondom dan hubungan seksual non-penetratif;
d) Melaksanakan kegiatan pemeriksaan dan pengobatan IMS
kepada kelompok berisiko.
5) Peningkatan SDM
d. Rujukan
1) Buku Nasional Pengobatan IMS Berdasarkan Pendekaan Sindrome
2) Buku Pengobatan IMS;
3) Renstra Penaggulangan HIV/AIDS tahun 2003-2007;
4) Buku Surveilans IMS.
P. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dangue
(DBD)
Penderita DBD yang ditangani
a. Pengertian
1) Penderita penyakit DBD adalah:
a) Penderita dengan tanda-tanda yang memenuhi kriteria diagnosa
klinis sebagai berikut:
(1) Panas mendadak 2-7 hari tanpa sebab yang jelas;
(2) Tanda-tanda perdarahan dan/atau pembesaran hati;
(3) Trombositopenia (Trombosit 100 000/μl atau kurang);
(4) Hemokonsentrasi (Hematokrit meningkat 20% atau lebih).
b) Tersangka penyakit DBD yang hasil pemeriksaan serologi (HI test
atau ELISA) positif.
2) Tersangka penyakit DBD adalah penderita panas mendadak 2-7 hari
tanpa sebab yang jelas disertai tanda-tanda perdarahan sekurangkurangnya
uji tourniquet positif dan/atau trombositopenia (trombosit
100 000/μl atau kurang).
b. Definisi Operasional
Penderita DBD yang ditangani adalah penderita DBD yang
penanganannya sesuai standar di satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun
waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Penegakan diagnosis, pengobatan, dan rujukan tersangka/penderita di
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Balai Pengobatan/Poliklinik atau
Dokter praktek, maka langkah-langkah kegiatannya meliputi:
a) Anamnesis dan pemeriksaan fisik;
b) Uji tourniquet;
c) Pemeriksaan laboratorium atau rujukan pemeriksaan
laboratorium (trombosit dan hematokrit);
d) Memberi pengobatan simptomatis;
e) Merujuk tersangka/penderita ke Rumah Sakit;
f) Melakukan pencatatan dan pelaporan (Form So) dan disampaikan
ke Dinkes Kabupaten/Kota.
2) Penanggulangan kasus, maka langkah kegiatan meliputi:
Penyelidikan Epidemiologi (PE) yaitu pencarian penderita/tersangka
DBD lainnya dan pemeriksaan jentik di rumah penderita/tersangka
dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter (di rumah penderita dan
20 rumah sekitarnya) serta tempat-tempat umum yang diperkirakan
menjadi sumber penularan.
Dari hasil PE, bila:
a) Ditemukan penderita DBD lain atau ada jentik dan penderita panas
tanpa sebab yang jelas ³ 3 orang maka melakukan: penyuluhan 3M
Plus, Larvasidasi, dan Pengasapan/Fogging Fokus.
b) Tidak ditemukan, maka hanya melakukan penyuluhan dengan
kegiatan 3 M Plus.
3) Pemberantasan Vektor, maka langkah kegiatannya meliputi:
a) Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dangue (PSN
DBD) dengancara 3M Plus;
b) Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) tiap 3 bulan sekali tiap desa/
kelurahan endemis pada 100 rumah/bangunan dipilih secara acak
(random sampling) yang merupakan evaluasi hasil kegiatan PSN
DBD yang telah dilakukan masyarakat.
4) Promosi Kesehatan, kegiatannya dilakukan dalam bentuk penyuluhan
tentang penyakit DBD;
5) Pemantauan dan Penilaian, dilakukan secara aktif yaitu melalui
supervisi dan lain-lain, dan secara pasif melalui laporan hasil kegiatan.
d. Rujukan
1) Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit Demam Berdarah Dangue
(Lampiran 2 Keputusan Dirjen PPM-PLP No. 914-1/PD.03.04.PB/
1992);
2) Buku Tatalaksana Demam Berdarah Dangue di Indonesia, Tahun
2001;
3) Buku Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan
Demam Berdarah Dengue, Tahun 2003.
Q. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare
Balita dengan diare yang ditangani
a. Pengertian
1) Diare adalah buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja
yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau
lebih dalam sehari) dan berlangsung kurang dari 14 hari;
2) Dehidrasi adalah kehilangan cairan yang ditandai dengan timbulnya
gejala diare dengan perubaan keadaan umum gelisah, rewel, lesu,
lunglai, tidak sadar, aus, malas minum atau tidak bisa minum, dan
turgor kulit kembali lambat sesuai derajat dehidrasi.
b. Definisi Operasional
Balita dengan diare yang ditangani adalah balita dengan diare yang
ditangani sesuai standar di satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun
waktu 1 tahun.
c. Langkah Kegiatan
1) Tatalaksana kasus :
a) Ketepatan diagnosa (sesuai dengan gejala dan derajat dehidrasi);
b) Pengobatan secara rasional (tanpa menggunakan antidiare dan
antibiotik sesuai indikasi);
c) Rujukan penderita.
2) Peningkatan SDM:
a) Pelatihan tenaga pengelola P2 Diare;
b) Fasilitasi/Bimbingan Teknis;
3) Promosi/Penyuluhan:
a) Pengetahuan tentang penyakit diare;
b) Cara-cara perawatan di rumah tangga;
c) Menghindari penularan;
d) Perubahan perilaku dan perbaikan lingkungan.
4) Kemitraan
a) Transfer teknologi;
b) Pemberdayaan dan pemanfaatan sumber daya daerah;
c) Alih pengelolaan/kemandirian.
5) Pemantauan dan Penilaian:
a) Pengamatan berkala melalui SKD (Sistem Kewaspadaan Dini);
b) Pengamatan kasus;
c) Faktor risiko.
d. Rujukan
Keputusan Menteri kesehatan RI No.: 1216/Menkes/SK/XI/2001 tentang
Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare.
R. Pelayanan Kesehatan Lingkungan
Institusi yang dibina
a. Pengertian
1) Institusi adalah unit kerja yang memberikan pelayanan/jasa kepada
masyarakat atau memproduksi barang;
2) Institusi yang dibina adalah unit kerja yang dalam memberikan
pelayanan/jasa potensial menimbulkan risiko/dampak kesehatan;
mencakup RS, Puskesmas, Sekolah, Instalasi Pengolahan Air Minum,
Perkantoran, Industri rumah tangga dan industri kecil, serta Tempat
penampungan pengungsi;
3) Instalasi Pengolaan Air Minum adalah Instalasi yang telah
melaksanakan pengawasan internal dan eksternal (oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota) sesuai dengan Kep Menkes 907/SK/VII/
2002 dengan jumlah sampel air yang diperiksa memenuhi persyaratan
bakteriologis 95 % dan tidak ada parameter kimia yang berdampak
langsung terhadap kesehatan;
4) Rumah Sakit/Puskesmas adalah sarana pelayanan kesehatan yang
effluentnya memenuhi baku mutu limbah cair, mengelola limbah padat
dengan baik, tersedia air cukup (kuantitas dan kualitas), higiene
sanitasi makanan dan minuman, pengendalian vektor serta binatang
pengganggu;
5) Perkantoran/Sekolah adalah kantor yang mempunyai sarana pengolaan
limbah cair, limbah padat dengan baik, tersedia air cukup (kualitas
dan kuantitas), higiene sanitasi makanan dan minuman, penerangan,
ventilasi, pengendalian vektor dan binatang pengganggu lainnya;
6) Tempat penampungan pengungsi adalah lokasi penampungan
pengungsi yang memenuhi aspek kesehatan lingkungan (penyehatan
air, pembuangan kotoran, pengelolaan sampah, pengendalian vektor
dan higiene sanitasi makanan minuman), termasuk kondisi
permukiman (padatan hunian, ventilasi, pencahayaan, lantai).
b. Definisi Operasional
Institusi yang dibina adalah institusi yang dibina sesuai dengan standar
kesehatan lingkungan di satu wilayah kerja Puskesmas tertentu pada kurun
waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Instalasi Pengolahan Air Minum:
a) Pendataan: pengumpulan data instalasi pengolahan air minum
(IPAM) di wilayah kerja Puskesmas.
b) Kemitraan: menjalin jejaring kerjasama baik terhadap lintas sektor
maupun Asosiasi pengelola IPAM.
c) Pengawasan:
(1) Melakukan Inspeksi Sanitasi (IS);
(2) Pengambilan sampel di IPAM yang ada di wilayah kerja
Puskesmas;
(3) Memeriksa sampel;
(4) Melakukan pembinaan terhadap IPAM yang diperiksa;
(5) Pengolahan dan analisis data;
(6) Rekomendasi
(7) Hasil dilaporkan kepada atasan langsung, pengelola IPAM, dan
sektor terkait.
d) Sosialisasi/advokasi:
(1) Melakukan pertemuan untuk sosialisasi kepada pengelola
IPAM, lintas program, dan lintas sektor terkait;
(2) Menentukan jumlah dan jenis pedoman untuk menentukan
sasaran sosialisasi;
(3) Melakukan advokasi terhadap pengambil keputusan di tingkat
kecamatan maupun kabupaten/kota;
(4) Hasil sosialisasi dilaporkan kepada atasan langsung dan sektor
terkait; melakukan penyebaran informasi tentang kualitas air
dan sanitasi IPAM kepada masyarakat, pengelola, dan sektor
terkait.
2) Puskesmas
a) Pengawasan:
(1) Pengumpulan data;
(2) Memeriksa sarana sanitasi Puskesmas;
(3) Melakukan pembinaan terhadap petugas Puskesmas;
(4) Pengelolaan dan analisis data;
(5) Hasil dilaporkan kepada atasan langsung, kepala
Puskesmas, dan sector terkait.
b) Sosialisasi dan Advokasi:
(1) Melakukan pertemuan untuk sosialisai kepada lintas
program dan lintas sektor;
(2) Melakukan advokasi terhadap pengambil keputusan di
tingkat kecamatan;
(3) Hasil sosialisasi dilaporkan kepada atasan langsung dan
sektor terkait.
c) Peningkatan SDM: melakukan pelatihan sanitasi yang sesuai
dengan peserta yang dilatih.
3) Sekolah/Perkantoran
a) Inspeksi Sanitasi:
(1) Pengambilan sampel di sekolah/perkantoran;
(2) Pemeriksaan sampel;
(3) Pengolahan dan analisis data;
(4) Rekomendasi terhadap petugas kesehatan dan sektor
terkait;
(5) Laporan kepada atasan langsung dan sektor terkait.
b) Pengawasan:
(1) Pengumpulkan data sarana sanitasi di sekolah/perkantoran;
(2) Memeriksa sarana sanitasi sekolah/perkantoran;
(3) Pengolahan dan analisis data sarana sanitasi sekolah/
perkantoran;
(4) Hasil dilaporkan kepada atasan langsung dan sektor terkait;
c) Sosialisasi: melakukan pertemuan untuk sosialisasi kepada
pengelola sekolah/perkantoran, lintas program dan lintas sektor
terkait.
d) Advokasi:
(1) Melakukan advokasi terhadap pengambil keputusan di
tingkat kecamatan maupun kabupaten/kota;
(2) Menjalin jejaring kerjasama baik terhadap lintas sektor
maupun pengelola sekolah/perkantoran.
e) Peningkatan SDM:
(1) Menentukan jenis pelatihan yang sesuai dengan peserta
yang dilatih;
(2) Melaksanakan pembinaan terhadap pengelola sekolah/
perkantoran.
4) Industri
a) Inspeksi Sanitasi:
(1) Pengambilan sampel industri;
(2) Pemeriksaan sampel;
(3) Pengolahan dan analisis data;
(4) Rekomendasi terhadap pengelola industri dan sektor terkait;
(5) Laporan kepada atasan langsung dan sektor terkait.
b) Pengawasan:
(1) Pengumpulan data;
(2) Memeriksa sasaran sanitasi di industri yang ada di wilayah
kerja Puskesmas;
(3) Melakukan pembinaan terhapan pengelola sanitasi di
industri;
(4) Pengolahan dan analisis data;
(5) Hasil dilaporkan kepada atasan langsung dan sektor terkait.
c) Sosialisasi, Advokasi, dan Kemitraan:
(1) Melakukan pertemuan untuk sosialisai kepada pengelola
sanitasi industri, lintas program, dan lintas sektor terkait;
(2) Melakukan advokasi terhadap pengambilan keputusan di
tingkat kecamatan maupun kabupaten/kota;
(3) Menjalin jejaring kerjasama baik terhadap lintas sektor
maupun ikatan pengusaha setempat;
(4) Hasil sosialisasi dilaporkan kepada atasan langsung dan
lintas sektor terkait.
a. Rujukan
1) Keputusan Menteri:
a) Kep.Menkes No.907/Menkes/sK/VII/2002 tentang Syarat-syarat
dan Pengawasan Kualitas Air Minum;
b) Kep.Men LH No.58/Men LH/12/1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Kegiatan Rumah Sakit;
c) Kep.Menkes No.715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan
Higiene Sanitasi Jasa Boga;
d) Kep.Menkes No.288/Menkes/2003 tentang Pedoman Penyehatan
Sarana dan Bangunan Umum;
e) Kep.Menkes No.1405/Menkes/2002 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri;
f) Kep.Men LH No.51/Men.LH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair bagi Kegiatan Industri;
g) Kep.Menkes No.140/Menkes/2002 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
2) Peraturan Menteri Kesehatan
a) Permenkes No.986/Menkes/Per/XI/1992 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit;
b) Permenkes No.416/Permenkes/SK/ix/1990 tentang Syarat-syarat
dan Pengawasan Kualitas Air Bersih.
3) Pedoman
a) Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia;
b) Pedoman Pelaksanaan dan Pengawasan Dampak Sampah (Aspek
Kesehatan Lingkungan);
c) Pedoman Kriteria Bantuan Penyelenggaraan Sanitasi Darurat,
2001;
d) Pedoman Umum Penyelanggaraan Sistem Darurat, 2001
4) Petunjuk
a) Petunjuk Pelaksanaan Kep.Menkes No.907/Menkes/SK/VII/2002
tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Air;
b) Petunjuk Teknis Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Bencana
Bidang Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan, 1997/1998.
5) Lain-lain
a) Prosedur Tetap Penyelenggaran Sanitasi Darurat dan Event-event
Khusus, 2001;
b) Baku Mutu Limbah Cair, KLH.
S. Pelayanan Pengendalian Vektor
Rumah/Bangunan Bebas Jentik Nyamuk Aedes
a. Pengertian
1) Pengendalian vektor adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk
menekan kepadatan jentik nyamuk yang berperan sebagai vektor
penyakit di rumah atau bangunan yang meliputi perumahan,
perkantoran, tempat umum, sekolah, gedung, dan sebagainya;
2) Jentik nyamuk penular (Vektor) adalah semua jentik nyamuk yang
terdapat dalam tempat penampungan air di dalam maupun di sekitar
rumah/bangunan;
3) Tempat Penampungan Air: bak mandi, tempayan, dan plastik-plastik
bekas, kaleng bekas, ban bekas, dan tempat air lainnya.
b. Definisi Operasional
Rumah/bangunan bebas jentik nyamuk Aedes adalah rumah/bangunan
yang bebas jentik nyamuk Aedes di satu wilayah kerja Puskesmas pada
kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Surveilans Tempat Perindukan Vektor :
a) Pendataan rumah/bangunan di wilayah kerja Puskesmas;
b) Pemeriksaan tempat perindukan vektor pada rumah/ bangunan;
c) Pengolahan data hasil pemeriksaan tempat perindukan vektor;
d) Rekomendasi kepada petugas kesehatan dan sektor terkait;
e) Penyebarluasan (sosialisasi, diseminasi informasi) hasil
surveilans/pengamatan kepada lintas program dan lintas sektor
mapun swasta dan masyarakat.
2) Pengendalian Vektor :
a) Investigasi rumah/bangunan dan lingkungan yang potensial jentik
di wilayah kerja Puskesmas melalui survei lingkungan, sosekbud,
dan survei entomologi;
b) Menentukan pengendalian vektor sesuai dengan permasalahan di
wilayah kerja Puskesmas;
c) Melakukan pemberantasan vektor sesuai dengan jenisnya.
3) Penyuluhan dan Penggerakan Masyarakat:
a) Melakukan identifikasi masalah sesuai dengan sasaran;
b) Menentukan jenis media penyuluhan sesuai dengan sasaran;
c) Menentukan materi penyuluhan pengendalian vektor;
d) Melaksanakan penyuluhan dan penggerakan masyarakat dalam
rangka pengendalian vektor khususnya tempat perindukan;
e) Menghimpun feed back (umpan balik) yang diberikan oleh sasaran.
4) Sosialisasi, Advokasi, dan Kemitraan:
a) Melakukan pertemuan untuk sosialisasi kepada lintas program dan
lintas sektor terkait, swasta, dan masyarakat;
b) Menentukan jumlah dan jenis peraturan/pedoman yang akan
disosialisasikan;
c) Melakukan advokasi terhadap pengambilan keputusan di tingkat
kecamatan maupun kabupaten/kota;
d) Menjalin jejaring kerjasama baik terhadap lintas sektor terkait
maupun swasta;
e) Hasil sosialisasi dilaporkan kepada atasan langsung dan sektor
terkait.
5) Peningkatan SDM:
a) Menentukan jenis pelatihan yang sesuai dengan peserta yang
dilatih;
b) Melaksanakan pelatihan pengendalian vektor.
6) Pemantauan dan Penilaian:
a) Pemantauan secara terus menerus terhadap hasil surveilans tempat
perindukan;
b) Pembinaan teknis terhadap petugas sanitasi, swasta, dan
masyarakat.
d. Rujukan
1) Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 581/Tahun 1992 tentang
Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah;
2) Permenkes No. 715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan
Kesehatan Jasa Boga;
3) Permenkes No. 304/1989 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah
Makan dan Restoran;
4) Permenkes No. 986/Menkes/Per/XI/1992 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit;
5) Permenkes No. 1405/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran dan Industri;
6) Permenkes No. 80 Tahun 1990 tentang Persyaratan Kesehatan Hotel;
7) Kep. Menkes No. 288/2003 tentang Pedoman Penyehatan Sarana dan
Bangunan Umum;
8) Pedoman Umum Penyehatan Tempat Umum (Seri Penyehatan
Lingkungan Hotel);
9) Petunjuk Pemantauan Program PPM & PLP tingkat Kabupaten (Kep.
Menkes) PPMPL No. 471- 1/PD.03:
a) Buku Pedoman Pemberantasan Demam Berdarah Dengue;
b) Buku Pedoman Pem,berantasan Vektor.
T. Pelayanan Higiene Sanitasi di Tempat Umum
Tempat Umum yang Memenuhi Syarat
a. Pengertian
1) Tempat-tempat Umum (TTU) adalah tempat yang dimanfaatkan oleh
masyarakat umum seperti hotel, terminal, pasar, pertokoan, depot air
isi ulang, bioskop, jasa boga, tempat wisata, kolam renang, tempat
ibadah, restoran, dan lain-lain;
2) Tempat umum yang memenuhi syarat adalah terpenuhinya akses
sanitasi dasar (air, jamban, limbah, sampah), terlaksananya
pengendalian vektor, higiene sanitasi makanan dan minuman,
pencahayaan dan ventilasi sesuai dengan kriteria, persyaratan dan/atau
standar kesehatan.
b. Definisi Operasional
Tempat Umum yang memenuhi syarat adalah tempat umum yang diawasi
yang memenuhi persyaratan higiene sanitasi sesuai dengan standar di satu
wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pengawasan:
a) Pengumpulan data TTU/TPM yang berada di wilayah kerja
Puskesmas;
b) Memeriksa TTU/TPM di wilayah kerja Puskesmas disesuaikan
dengan alokasi dana dengan menggunakan formulir checklist;
c) Melakukan pembinaan oleh petugas kesehatan terhadap TTU/TPM
yang diperiksa;
d) Pengolahan dan analisis data;
e) Hasil dilaporkan kepada atasan langsung, pengelola TTU/TPM,
dan sektor terkait.
2) Peningkatan SDM:
a) Menentukan jenis pelatihan untuk peserta yang dilatih;
b) Melaksanakan pelatihan baik terhadap petugas kesehatan maupun
pengelola TTU/TPM.
3) Bimbingan Teknis:
a) Dilakukan terhadap TTU/TPM di wilayah kerja Puskesmas;
b) Hasil bimtek dilaporkan kepada atasan langsung dan sektor terkait.
4) Sosialisasi, Advokasi, dan Kemitraan:
a) Melakukan pertemuan untuk sosialisasi kepada pengelola
TTU/TPM, lintas program, dan lintas sektor terkait;
b) Melakukan advokasi terhadap pengambil keputusan di tingkat
kecamatan maupun kabupaten/kota;
c) Menjalin jejaring kerjasama baik terhadap lintas sektor maupun
Asosiasi pengelola TTU/TPM;
d) Hasil sosialisasi dilaporkan kepada atasan langsung dan sektor
terkait
d. Rujukan
1) Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan
Pengawasan Kualitas Air;
2) Permenkes No. 80 Tahun 1990 tentang Persyaratan Kesehatan Hotel;
3) Permenkes RI No. 061/menkes/Per/I/1991 tentang Persyaratan
Kesehatan Kolam Renang dan Pemandian Umum;
4) Permenkes RI No. 1405/2002 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja;
5) Kep Menkes RI No. 1098/2003 tentang Kesehatan Rumah Makan dan
Restoran;
6) Depkes RI Ditjen PPM & PPLP Dit.PLP, Jakarta, Tahun 1999:
Kumpulan Formulir Pemeriksaan Kesehatan Lingkungan (Inspeksi
Sanitasi) Bidang Penyehatan Tempat-tempat Umum;
7) Depkes RI Ditjen PPM & PPLP Tahun 2001, Pedoman Umum
Penyehatan Lingkungan Tempat Umum (Seri Penyehatan Lingkungan
Hotel);
8) Kep. Menkes No. 288/2003 tentang Pedoman Penyehatan Sarana dan
Bangunan Umum
U. Penyuluhan Perilaku Sehat
1. Rumah Tangga Sehat
a. Pengertian
Rumah Tangga Sehat adalah rumah tangga yang memenuhi minimal
10 indikator, sebagai berikut:
1) Pertolongan Persalinan oleh tenaga kesehatan
Adalah tindakan yang dilakukan Bidan/Tenaga kesehatan
lainnya dalam proses lahirnya janin dari kandungan ke dunia
luar dimulai dari tanda-tanda lahirnya bayi, pemotongan tali
pusat, dan keluarnya placenta.
2) Balita diberi ASI eksklusif
Adalah proporsi bayi usia 0-6 bulan yang hanya mendapat ASI
saja sejak lahir.
3) Mempunyai Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Adalah penduduk semua umur yang tercakup berbagai jenis
pembiayaan praupaya seperti Askes, Jamsostek, Asuransi
Perusahaan, Dana Sehat, Kartu Sehat, dan lain-lain.
4) Tidak merokok
Adalah penduduk umur 10 tahun ke atas yang tidak merokok
selama 1 bulan terakhir.
5) Melakukan aktivitas fisik setiap hari
Adalah penduduk umur 10 tahun ke atas dalam seminggu
terakhir melakukan aktivitas fisik sedang atau berat minimal 30
menit setiap hari.
6) Makan sayur dan buah setiap hari
Adalah penduduk 10 tahun ke atas yang mengkomsumsi
minimal 2 porsi sayuran dan 2 porsi buah-buahan dalam
seminggu terakhir.
7) Tersedia Air Bersih
Rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih adalah
rumah tangga yang memakai sehari-hari kebutuhan air minum
yang meliputi air dalam kemasan, ledeng, pompa, sumur
terlindung, serta mata air terlindung yang berjarak minimal 10
meter dari tempat penampungan kotoran atau limbah.
8) Tersedianya Jamban
Adalah rumah tangga menggunakan jamban dengan septic tank
atau lubang penampungan sebagai pembuangan akhir.
9) Kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni
Adalah lantai rumah yang ditempati dan digunakan untuk
keperluan sehari-hari dibagi dengan jumlah penghuni rumah
(2,5 m2/orang).
10) Lantai rumah bukan dari tanah
Adalah bagian bawah/dasar/alas suatu ruangan terbuat dari
semen, papan, dan ubin.
Catatan khusus:
Apabila dalam rumah tangga tersebut tidak ada ibu yang
pernah melahirkan dan tidak ada balita, maka pengertian rumah
tangga sehat adalah rumah tangga yang memenuhi 8 indikator.
b. Definisi Operasional
Rumah tangga sehat adalah proporsi rumah tangga yang memenuhi 10
indikator, yaitu pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, balita
diberi ASI eksklusif, mempunyai jaminan pemeliharaan kesehatan,
tidak merokok, melakukan aktivitas fisik setiap hari, makan sayur dan
bua setiap hari, tersedia air bersih, tersedia jamban, kesesuaian luas
lantai dengan jumlah penghuni, dan lantai rumah bukan dari tanah.
c. Langkah Kegiatan
1) Kegiatan pengumpulan data:
a) Menentukan jumlah RT di satu wilayah kerja Puskesmas yang
disurvei;
b) Mengunjungi RT untuk melakukan observasi dengan checklist/
kuesioner;
c) Menetapkan status RT;
d) Menghitung RT Sehat;
e) Menghitung dengan rumus.
2) Kegiatan penyelenggaran Program;
a) Pengkajian masalah PHBS (pengumpulan data, pengolahan,
analisis);
b) Perencanaan kegiatan PHBS;
c) Pengerahan pelaksanaan intervensi;
d) Penilaian dan pengembangan PHBS.
d. Rujukan
1) Pedoman Promosi Kesehatan Daerah;
2) Pedoman Manajemen PHBS Kabupaten/Kota;
3) Pedoman Manajemen PHBS tingkat Kecamatan/Puskesmas.
2. Bayi Yang Mendapat ASI Eksklusif
a. Pengertian
ASI eksklusif adalah Air Susu Ibu yang diberikan kepada bayi sampai
bayi berusia 6 bulan tanpa diberikan makanan dan minuman.
b. Definisi Operasional
Bayi yang mendapat ASI eksklusif adalah bayi yang hanya mendapat
ASI saja sejak lahir sampai usia 6 bulan di satu wilayah kerja
Puskesmas pada satu kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Kegiatan pengumpulan data:
a) Menghitung seluruh bayi usia 0-6 bulan di satu wilayah kerja
Puskesmas;
b) Menghitung jumlah seluruh bayi usia 0-6 bulan yang hanya
diberi ASI saja dari catatan/pendataan Puskesmas;
c) Menghitung dengan rumus.
2) Kegiatan meningkatkan penyelenggaraan program;
a) Pendataan sasaran ASI eksklusif;
b) Penyuluhan ASI eksklusif;
c) Sosialisasi dan KIE ASI eksklusif;
d) Pembinaan teknis (kunjungan lapangan);
e) Pencatatan dan Pelaporan.
d. Rujukan
1) Buku Strategi Nasional Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu,
Tahun 2002;
2) Kep.Menkes No.450/Menkes/IV/2000 tentang Pemberian ASI
secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia;
3) Pedoman Peningkatan Penggunaan ASI (PP-ASI);
4) Booklet ASI Eksklusif.
3. Desa dengan Garam beryodium baik
a. Pengertian
1) Desa adalah kesatuan masyarakat ˇdapt yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan ˇdapt istiadat
setempat yang diakui dalam Sistem Pemerintahan Nasional dan
berada di daerah Kabupaten;
2) Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat daerah
kabupaten dan/atau daerah kota di bawah kecamatan;
3) Garam Beryodium baik adalah garam yang mempunyai kandungan
yodium dengan kadar yang cukup (> 30 ppm kalium yodat).
b. Definisi Operasional
Desa dengan garam beryodium baik adalah desa/kelurahan dengan 21
sampel garam konsumsi yang diperiksa hanya ditemukan tidak lebih
dari 1 sampel garam konsumsi dengan kandungan yodium kurang dari
30 ppm pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Kegiatan mendapatkan data:
a) Menghitung jumlah seluruh desa di satu wilayah kerja
Puskesmas;
b) Menghitung desa yang beryodium;
c) Menetapkan status desa (beryodium baik atau tidak);
d) Menghitung jumlah desa yang beryodium baik
e) Menghitung dengan rumus.
2) Kegiatan meningkatkan pelaksanaan program:
a) Pendataan sasaran desa (Baseline data);
b) Perencanaan kebutuhan anggaran kegiatan promosi/KIE;
c) Pengadaan test kit yodium;
d) Pelatihan dan promosi KIE garam beryodium;
e) Pengadaan media KIE garam beryodium.
d. Rujukan
1) Pedoman Pemantauan Garam Beryodium di Masyarakat;
2) Panduan Penegakan Norma Sosial Peningkatan Konsumsi Garam
Beryodium, Tim Penanggulangan GAKY Pusat, Tahun 2002.
4. Posyandu Purnama
a. Pengertian
Posyandu Purnama adalah Posyandu yang melaksanakan kegiatan hari
buka dengan frekuensi lebih dari 8 kali per tahun, rata-rata jumlah
kader yang bertugas 5 orang atau lebih, cakupan program utama (KIA,
KB, Gizi, Imunisasi lebih dari 50 %), dan sudah ada 1 atau lebih
program tambahan, serta cakupan dana sehat < 50 %.
b. Definisi Operasional
Posyandu Purnama adalah jumlah Posyandu purnama yang ada di satu
wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu
c. Langkah Kegiatan
1) Kegiatan pengumpulan data;
a) Menghitung jumlah semua Posyandu di wilayah kerja
Puskesmas;
b) Menghitung jumlah Posyandu Purnama dari laporan kegiatan
Posyandu;
c) Menghitung dengan rumus;
2) Kegiatan meningkatkan penyelenggaraan program:
a) Pengembangan;
b) Pelayanan;
c) Pelatihan;
d) Pencatatan dan Pelaporan;
e) Pemantauan dan Penilaian.
d. Rujukan
1) Pedoman Manajemen ARRIF;
2) Pedoman Revitalisasi Posyandu.
U. Penyuluhan Pencegahan dan Penaggulangan Penyalahgunaan Narkoba,
Psikotropika dan Zat Adiktif (P3NAPZA) Berbasis Masyarakat
Upaya Penyuluhan P3NAPZA oleh Petugas Kesehat
a. Pengertian
Upaya penyuluhan adalah semua usaha secara sadar dan berencana yang
dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia sesuai prinsip-prinsip
pendidikan yakni pada tingkat sebelum sesorang menggunakan NAPZA.
b. Definisi Operasional
Upaya penyuluhan P3NAPZA adalah Upaya penyuluhan P3NAPZA oleh
tenaga kesehatan tertentu
c. Langkah Kegiatan
1) Identifikasi sasaran;
2) Penyuluhan;
3) Pelatihan.
d. Rujukan
1) Modul Pelatihan Teknis Medis Penanggulangan NAPZA;
2) Modul Keterampilan Interpersonal Dalam Pencegahan
Penanggulangan NAPZA;
3) Pedoman Penanggulangan NAPZA Berbasis Masyarakat;
4) Instrumen Untuk Mengidentifikasi Masalah Alkohol, Tembakau, dan
NAPZA di sarana Pelayanan Kesehatan Dasar.
W. Pelayanan Penyediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
Ketersediaan Obat Sesuai Kebutuhan
a. Pengertian
1) RKO adalah Rencana Kebutuhan Obat;
2) LPLPO adalah Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
Puskesmas/Pustu;
3) Kebutuhan Obat Nyata adalah Kebutuhan yang dihitung oleh tim
rencana Obat terpadu Kabupaten/Kota;
4) Obat Pelayanan Kesehatan Dasar adalah obat yang disediakan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan kategori obat: Sangat-sangat
Esensial, Sangat Esensial, dan Esensial
2. Definisi Operasional
Ketersediaan Obat sesuai kebutuhan adalah ketersediaan obat pelayanan
kesehatan dasar di Unit Pengeloloa Obat dan Perbekalan Kesehatan
Kabupaten/Kota di satu wilayah pada kurun waktu tertentu.
3. Langkah Kegiatan
1) Perencanaan obat;
2) Pengadaan obat;
3) Pemantauan dan Penilaian.
d. Rujukan
1) Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN);
2) Pedoman Penolahan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan;
3) Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekaloan Kesehatan
Dasar.
X. Pelayanan Penggunaan Obat Generik
Penulisan Resep obat Generik
a. Pengertian
Obat Generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam
Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.
b. Definisi Operasional
Penulisan obat generik adalah penulisan resep obat generik di fasilitas
sarana kesehatan pemerintah.
c. Langkah Kegiatan
1) Pencatatan penggunaan obat generik setiap hari di Puskesmas;
2) Pembuatan laporan bulanan pemakaian obat generik di Puskesmas ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
d. Rujukan
1) Pedoman Pengobatan (Ditjen Binkesmas);
2) Kep.Menkes No.85/1989 tentang Kewajiban Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Pemerintah Menuliskan Obat Generik.
Y. Penyelenggaraan Pembiayaan Untuk Pelayanan Kesehatan Perorangan.
Cakupan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pra Bayar
a. Pengertian
Jaminan Pemelihaan Kesehatan (JPK) Prabayar adalah suatu cara
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan azas
usaha bersama dan kekeluargaan, berkesinambungan, dengan mutu yang
terjamin dan biaya yang terkendali.
b. Definisi Operasional
Cakupan JPK pra bayar adalah proporsi penduduk terlindung JPK (PT
Askes, PT Jamsostek, Bapel JPKM, Kartu Sehat, Dana Sehat, dan
Asuransi Komersial) di satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu
tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Analisis Potensi Wilayah;
2) Penetapan Unit Cost Pelayanan Kesehatan;
3) Penetapan paket pelayanan kesehatan dan premi;
4) Pemantapan dan pengembangan model JPK;
5) Advokasi, Sosialisasi, dan Edukasi;
6) Peningkatan kinerja pelayanan;
7) Pengembangan Dokter Keluarga;
8) Penataan SIM;
9) Pemantauan dan Penilaian.
d. Rujukan
Pedoman BAPIM dan SIM JPKM.
Z. Penyelenggaraan Pembiayaan Untuk Keluarga Miskin dan Masyarakat
Rentan
Cakupan Jaminan pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin dan
Masyarakat Rentan
a. Pengertian
1) Keluarga Miskin (Gakin) adalah keluarga yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Tim Koordinasi
Kabupaten/Kota (TKK) dengan melibatkan Tim Desa dalam
mengidentifikasi nama dan alamat Gakin secara tepat, sesuai dengan
Gakin yang disepakati;
2) Masyarakat Rentan adalah masyarakat yang tergolong dalam
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) mencakup 27
jenis, antara lain: anak balita terlantar, anak terlantar, anak korban
kekerasan, anak nakal, anak jalanan, anak cacat, wanita rawan sosial
ekonomi, wanita korban tindak kekerasan, lanjut usia terlantar, lanjut
usia korban tindak kekerasan, penyandang cacat, penyandang bekas
penyakit kronis, tuna susila, bekas narapidana, pengemis dan
gelandangan, keluarga fakir miskin, keluarga dengan rumah tak layak
huni, keluarga bermasalah sosial psikologi, komunitas adat terpencil,
masyarakat rawan bencana, korban penyalahgunaan NAPZA, pengidap
HIV/AIDS, korban bencana alam, korban bencanan sosial/pengungsi,
pekerja migran terlantar (Sumber Depsos RI).
b. Definisi Operasional
Cakupan JPK Gakin dan Masyarakat Rentan adalah proporsi Gakin dan
Masyarakat Rentan terlindung oleh JPK (subsidi Pemerintah dan Pemda)
di satu wilayah kerja Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Perhitungan Unit cost Pelayanan kesehatan;
2) Penetapan kriteria dan jumlah Gakin;
3) Penetapan paket dan premi;
4) Penetapan kebutuhan pembiayaan Gakin;
5) Perhitungan kontribusi daerah;
6) Advokasi dan Sosialisasi;
7) Pemantapan Model Pembiayaan Kesehatan Gakin;
8) Pemantauan dan Penilaian.
d. Rujukan
Pedoman JPK Gakin dan PKPS-BBM Bidang Kesehatan, 2003.
2. PELAYANAN KESEHATAN YANG WAJIB DILAKSANAKAN OLEH
PUSKESMAS TERTENTU SEBAGAI UPTD KESEHATAN
KABUPATEN/KOTA
1. Pelayanan Kesehatan Kerja
Cakupan Pelayanan Kesehatan Kerja Pada Pekerja Formal
a. Pengertian
1) Pelayanan Kesehatan Kerja adalah suatu upaya pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada masyarakat pekerja, baik berupa kegiatan
peningkatan/promotif kesehatan kerja, pencegahan/preventif dan
penyembuhan/kuratif penyakit akibat kerja (PAK) dan/atau penyakit
akibat hubungan kerja (PAHK), serta pemulihan/rehabilitatif
penyakit PAK dan PAHK yang dilakukan oleh Puskesmas di satu
wilayah kerja Puskesmas;
2) Pekerja Formal adalah tenaga kerja yang melakukan pekerjaannya
pada suatu instansi/unit usaha yang mempunyai izin dan terstruktur
seperti: karyawan pemerintah/BUMN/TNI/Kepolisian, karyawan
perusahaan baik skala besar, menengah, dan kecil yang mempunyai
izin usaha.
b. Definisi Operasional
Cakupan pelayanan kesehatan kerja adalah pekerja formal yang
memeroleh pelayanan kesehatan kerja baik kegiatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif sesuai standar di satu wilayah kerja Puskesmas
pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Persiapan:
a) Identifikasi sasaran;
b) Sosialisasi pelayanan kesehatan kerja;
c) Pelatihan petugas kesehatan kerja.
2) Pelaksanaan:
a) Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar di Puskesmas;
b) Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar di Poliklinik Perusahaan;
c) Pelatihan Kader dan Pembentukan Pos UKK.
3) Pembinaan dan Penilaian:
a) Pencatatan dan Pelaporan;
b) Pemantauan dan Penilaian.
d. Rujukan
1) Kebijakan Teknis Program Kesehatan Kerja;
2) Standar Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar;
3) Pedoman Pelaksanaan Upaya Kesehatan Kerja di Puskesmas;
4) Pedoman Sistem Informasi Manajemen Kesehatan Kerja;
5) Modul TOT Kesehatan Kerja;
6) Buku Pos Upaya Kesehatan Kerja.
2. Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut
Cakupan Pelayanan Kesehatan Pra Usia Lanjut
a. Pengertian
1) Pra usia lanjut adalah seseorang yang berusia antara 45-59 tahun;
2) Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
b. Definisi Operasional
Cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut adalah pra
usia lanjut dan usia lanjut yang memeroleh pelayanan kesehatan sesuai
standar yang ada pada pedoman, di satu wilayah kerja Puskesmas pada
kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pendataan sasaran pra usia lanjut dan usia lanjut;
2) Pelayanan kesehatan dan penanganan kasus;
3) Koordinasi lintas program dan lintas sektor;
4) Manajemen program.
d. Rujukan
1) Pedoman Pembinaan Usia lanjut Jilid I dan II;
2) Pedoman Puskesmas Santun Usia lanjut.
3. Pelayanan Gizi
Cakupan Wanita Usia Subur yang Mendapatkan Kapsul Yodium
a. Pengertian
1) Wanita Usia Subur (WUS) adalah wanita yang berusia 15-49 tahun
termasuk ibu hamil/nifas, calon pengantin (catin), remaja putri
(dalam dan luar sekolah), pekerja wanita, dan WUS tidak hamil;
2) Kapsul yodium adalah kapsul minyak yang mengandung yodium
yang diberikan kepada wanita usia subur untuk daerah endemik
sedang dan endemik berat.
b. Definisi Operasional
Cakupan wanita usia subur yang mendapatkkan kapsul yodium adalah
wanita usia subur di daerah endemik sedang dan berat yang mendapat
kapsul yodium di satu wilayah kerja Puskesmas pada waktu kurun
tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Pendataan sasaran WUS (Baseline data);
2) Perencanaan kebutuhan kapsul yodium;
3) Pengadaan dan pendistribusian kapsul yodium;
4) Pemantauan dan Penilaian.
d. Rujukan
1) Pedoman Distribusi Kapsul Minyak Beryodium, Depkes RI, Tahun
2000;
2) Pedoman Pelaksanaan Pemantauan Garam Beryodium di Tingkat
Masyarakat, Depkes RI, Tahun 2001;
3) Booklet Kretin Akibat Kurang Yodium, Tahun 2002.
2. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Malaria
Penderita Malaria Yang diobati
a. Pengertian
1) Penderita tersangka malaria adalah penderita yang didiagnosa dengan
gejala klinis: demam, menggigil dan sakit kepala atau gejala lain
spesifik daerah tanpa pemeriksaan laboratorium (malaria klinis);
2) Penderita positif malaria adalah penderita yang dalam pemeriksaan
sediaan darahnya positif plasmodium malaria
3) Pengobatan klinis adalah pengobatan yang diberikan kepada penderita
malaria klinis;
4) Pengobatan radikal adalah pengobatan yang diberikan kepada
penderita positif malaria untuk menghilangkan parasit malaria.
b. Definisi Operasional
Penderita malaria yang diobati adalah penderita tersangka malaria dan/atau
positif malaria yang diobati sesuai standar di satu wilayah kerja Puskesmas
pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Menemukan penderita tersangka malaria:
Kegiatan ini dilakukan secara pasif melalui kegiatan rutin di
Puskesmas dan secara aktif melalui survei malaria;
2) Mengonfirmasi secara laboratorium dan/atau dengan menggunakan
rapid diagnostic test untuk memastikan diagnosa adanya parasit di
dalam sediaan darah (SD) dan mengetahui jenis parasitnya. Hal ini
penting untuk memberikan pengobatan yang tepat;
3) Memberikan pengobatan baik kepada penderita tersangka malaria dan
penderita positif maupun pengobatan hasil follow up penderita
(pengobatan berdasarkan standar pengobatan);
4) Peningkatan SDM dengan melakukan pelatihan tentang penemuan dini
dan pengobatan yang tepat untuk kasus malaria;
5) Melakukan Pemantauan dan Penilaian:
a) Melakukan pemantauan terhadap hasil surveilans;
b) Melakukan pemantauan dan penilaian tentang penemuan dini dan
pengobatan yang tepat.
6) Pencatatan dan Pelaporan untuk mencegah terjadinya peningkatan
kasus;
7) Advokasi, Sosialisasi, dan Kemitraan:
a) Mengadakan pertemuan dan sosialisasi kepada lintas sektor;
b) Melakukan advokasi kepada pengambil keputusan di tingkat
kecamatan dan kabupaten;
c) Menjalin jejaring kemitraan.
d. Rujukan
1) Modul Penemuan dan pengobatan Penderita Malaria, Tahun 1999 (Jilid
5);
2) Modul Penatalaksanaan Penderita Malaria, Tahun 1999 (Jilid 7-10).
2. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta
Penderita kusta yang selesai berobat (RFT rate)
a. Pengertian
1) Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf
tepi, kulit, dan organ tubuh, kecuali susunan saraf pusat;
2) Penderita kusta adalah penderita yang mempunyai satu atau lebih
gejala utama:
a) Kulit dengan bercak putih atau kemerahan disertai mati rasa atau
anestesi;
b) Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf berupa
mati rasa dan kelemahan/kelumpuhan pada otot tangan, kaki, dan
mata, kulit kering, serta pertumbuhan rambut yang terganggu;
c) Pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit (slit skin smear) didapat
adanya kuman Micobacterium leprae.
3) Klasifikasi penderita kusta, berdasarkan tanda-tanda utama dibedakan
menjadi :
a) Tipe PB dengan tanda-tanda :
(1) Jumlah bercak pada kulit : 1-5;
(2) Kerusakan saraf tepi : 1 saraf;
(3) Pemeriksaan Skin Smear (BTA) : negative.
b) Tipe MB dengan tanda-tanda :
(1) Jumlah bercak kulit: lebih dari 5;
(2) Kerusakan sarafa tepi: banyak saraf;
(3) Pemeriksaan Skin Smear (BTA); positif.
4) Pengobatan:
Pengobatan penderita kusta sesuai dengan klasifikasi yaitu:
a) Pengobatan PB:
(1) Blister MDT Dewasa berisi: Rifampisin dan Dapsone (DDS);
(2) Blister MDT Anak berisi: Rifampisin dan Dapsone (DDT).
b) Pengobatan MB:
(1) Blister MTD Dewasa berisi: Rifampisin, Lampren,dan Dapsone
(DDS);
(2) Blister MDT Anak berisi: Rifampisin, Lampren, dan Dapsone
(DDS).
5) Kesembuhan penderita PB: Penderita yang sudah mendapat
pengobatan sebanyak 6 blister yang diselesaikan selama 6-9 bulan.
Kesembuhan penderita MB: Penderita yang sudah mendapatkan
pengobatan sebanyak 12 blister yang diselesaikan selama 12-18 bulan.
6) Kohort adalah sekumpulan penderita yang mulai pengobatan MDT
dalam periode waktu 1 tahun.
b. Definisi Operasional
Penderita kusta yang selesai berobat adalah penderita kusta yang
menyelesaikan pengobatan tepat waktu (RFT rate) di satu wilayah kerja
Puskesmas pada kurun waktu tertentu.
c. Langkah Kegiatan
1) Penemuan pederita :
Secara pasif bersifat sukarela dan secara aktif melalui pemeriksaan
kontak serumah dan tentangga/lingkungan, pemeriksaan anak sekolah
chase survei, rapid village survei khusus, LEK, SAPEL, survei focus);
2) Pengobatan penderita:
a) Pemberian pengobatan sesuai dengan rekomendasi WHO: PB anak
dan dewasa, MB anak dan dewasa;
b) Penanganan penderita reaksi;
c) Rujukan penderita dengan komplikasi;
d) Konfirmasi diagnosis kasus sulit (petugas kabupaten)
e) Pemantauan kecukupan pengobatan (petugas kabupaten);
3) Pembinaan Pengobatan (Case Holding):
Monitoring pengobatan dan melakukan pelacakan penderita yang tidak
mengambil obat;
4) Mencegah cacat dan perawatan dini, dengan pemeriksaan POD
(Prevention Of Disability). Setiap bulan pada semua penderita, setiap 2
minggu pada penderita reaksi, serta memberikan contoh cara merawat
diri;
5) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan;
6) Melakukan penyuluhan bagi penderita, keluarga, dan masyarakat;
7) Manajemen logistik, meliputi: permintaan obat, penyimpanan, dan
pendistribusian;
8) Menilai hasil pelaksanaan pelayanan pengobatan kepada penderita
dengan melihat angka kesembuhan.
d. Rujukan
1) Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Kusta bagi Petugas Unit
Pelayanan Kesehatan;
2) Buku Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia.
3. Pencegahaan dan Pemberantasan Penyakit Filariasis
Kasus Filariasis yang ditangani
a. Pengertian
1) Seseorang yang pernah tercatat sebagai kasus filariasis dan belum
sembuh, termasuk kasus filarisis dengan gejala/tanda menetap atau
kasus filariasis dengan gejala/tanda hilang timbul (trantient
limphoedema);
2) Seseorang yang pernah tercatat sebagai kasus filariasis dan tidak
pernah termonitor oleh Puskesmas (loss of follow up);
3) Seseorang yang pada pemeriksaan darah jari dinyatakan microfilaria
positif dan belum pernah mendapat pengobatan;
4) Kasus filariasis ditangani adalah kasus filariasis yang mendapatkan
tatalaksana di Puskesmas dan diikuti tatalaksana rumah tangga;
5) Setiap penemuan kasus filariasis di suatu kecamatan harus dilanjutkan
dengan survei darah jari dan pengobatan massal filariasis sesuai
dengan pedoman program eliminasi filariasis.
b. Definisi Operasional
Kasus filariasis yang ditangani adalah kasus filariasis yang ditemukan
dengan pemeriksaan mikroskopis dan/atau dengan gejala klinis.
c. Langkah kegiatan
1) Penemuan kasus:
Penemuan kasus dapat diperoleh di Puskesmas dan penemuan di
masyarakat melalui survei;
2) Tatalaksana kasus :
a) Tatalaksana penderita klinis akut dan kronis dilakukan di
Puskesmas dan perawatan di rumah. Untuk kasus yang baru
ditemukan langsung diberikan DEC 3 x 100 mg selama 10 hari,
kemudian diikuti pengobatan massal. Penderita dengan serangan
akut, diberi antibiotika dan obat simptomatik lain terlebih dulu
sampai gejala klinis mereda, baru kemudian diberikan DEC.
Perawatan meliputi pencucian, pemberian salep anti jamur/anti
bakteri, peninggian bagian tubuh yang mengalami lymphoedema,
gerakan/exercise dan pemakaian alas kaki yang tepat. Setiap
penderita dianjurkan untuk menjaga personal hygiene;
b) Pengobatan kasus non klinis dengan obat DEC 3 x 100 mg selama
10 hari, kemudian diikutkan dalam siklus pengobatan massal
dengan obat DEC, Albendazole, dan Parasetamol.
3) Peningkatan SDM:
Melalui kegiatan antara lain: pelatihan tenaga pengelola filariasis
Puskesmas, pelatihan tenaga pengelola mikroskopis filariasis
Puskesmas, dan peningkatan SDM keluarga penderita dan kader di
Puskesmas.
4) Promosi :
Melalui kegiatan advokasi, penyuluhan, dan sosialisasi di Puskesmas,
masyarakat dan kader.
5) Survei darah jari :
Dilakukan untuk menentukan suatu daerah endemis filariasis atau
tidak, dan untuk evaluasi setelah pengobatan massal. Persiapan yang
dilakukan antara lain pelatihan tenaga Puskesmas (on the job training)
dan penyiapan masyarakat. Dalam penyiapan masyarakat diperlukan
koordinasi dan penggerakan oleh perangkat/tokoh-tokoh (agama,
masyarakat, pemuda, dan lain-lain) di desa.
6) Pengobatan massal untuk 1 kecamatan Implementation Unit (IU):
a) Untuk memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan
massal setiap tahun selama minimal 5 tahun;
b) Pelatihan kader/TPE (Tenaga Pembantu Pengobatan);
c) Diperlukan penyiapan masyarakat dengan penyuluhan serta
koordinasi dan penggerakan masyarakat oleh perangkat desa dan
tokoh-tokoh (masyarakat, agama, pemuda, dan lain-lain);
d) Pelaksanaan pengobatan massal.
7) Pemantauan dan penilaian :
Melakukan supervisi secara berjenjang. Pelaksanaan surveilans kasus
klinis dan survei darah jari.
d. Rujukan
1) Pedoman Program Eliminiasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di
Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Dirjen PPM & PL;
2) Epidemologi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di Indonesia,
Departemen Kesehatan RI, Dirjen PPM & PL;
3) Pedoman Penentuan Daerah Endemis Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)
di Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Dirjen PPM & PL;
4) Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah (Filariasis),
Departemen Kesehatan RI, Dirjen PPM & PL;
5) Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Penyakit Kaki Gajah
(Filariasis), Departemen Kesehatan RI, Dirjen PPM & PL;
6) Pedoman Promosi Kesehatan dalam Eliminasi Penyakit Kaki Gajah
(Filariasis), Departemen Kesehatan RI, Dirjen PPM & PL;
7) Desaku Bebas Filariasis, Departemen Kesehatan RI, Dirjen PPM &
PL.

Sumber : Endang S. Manajemen Kesehatan ; Teori dan Praktik di Puskesmas, Maret 2009
Open-mouthed smileRolling on the floor laughingParty smileWho me?Disappointed smileSarcastic smileSecret telling smileConfused smileWinking smileSchool

0 komentar:

Posting Komentar