Selasa, 11 Oktober 2011

OSTEOARTRITIS DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BELIMBING WULUH

PENDAHULUAN

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang karakteristik dengan menipisnya rawan sendi secara progresif, disertai dengan pembentukan tulang baru pada trabekula subkondral dan terbentuknya rawan sendi dan tulang baru pada tepi sendi (osteofit). Secara histopatologik proses OA ditandai dengan menipisnya rawan sendi disertai pertumbuhan dan remodelling tulang di sekitarnya (bony overgrowth) diikuti dengan atrofi dan destruksi tulang di sekitarnya.

PATOGENESIS

Walaupun insidens OA meningkat dengan bertambahnya usia, ternyata proses OA bukan sekedar satu proses wear and tear yang terjadi pada sendi di sepanjang kehidupan. Dikatakan demikian karena beberapa hal :
1) Perubahan biokimiawi rawan sendi pada tingkat molekuler yang terjadi akibat proses menua berbeda dengan yang terjadi pada rawan sendi akibat OA.
2) Perubahan menyerupai OA dapat terjadi pada rawan sendi percobaan berusia muda yang dirangsang dengan berbagai trauma seperti tekanan mekanik dan zat kimia.

Penyebab OA bukan tunggal, OA merupakan gangguan yang disebabkan oleh multifaktor, antara lain usia, mekanik, genetik, humoral dan faktor kebudayaan. Menipisnya rawan sendi diawali dengan retak dan terbelahnya permukaan sendi di beberapa tempat yang kemudian menyatu dan disebut sebagai fibrilasi. Di lain pihak pada tulang akan terjadi pula perubahan sebagai reaksi tubuh untuk memperbaiki kerusakan. Perubahan itu adalah penebalan tulang subkondral dan pembentukan osteofit marginal, disusul kemudian dengan perubahan komposisi molekular dan struktur tulang


 
ETIOPATOGENESIS
 
Etiopatogenesis osteoartritis sampai saat ini belum dapat dijelaskan melalui satu teori yang pasti. Telah diketahui bahwa tidak ada satupun pemeriksaan tunggal yang dapat menjelaskan proses kerusakan rawan sendi pada OA(5). Etiopatogenesis OA diduga merupakan interaksi antara faktor intrinsik dan ekstrinsik dan OA merupakan keseimbangan di antara faktor etiologik dan proses jaringan 
 
FAKTOR RISIKO 
Faktor risiko yang berperan pada osteoartritis dapat dibedakan atas dua golongan besar, yaitu :
1) Faktor predisposisi umum : antara lain umur, jenis kelamin, kegemukan, hereditas; hipermobilitas, merokok, densitas tulang, hormonal dam penyakit reumatik kronik lainnya.
2) Faktor mekanik : antara lain trauma, bentuk sendi, penggunaan sendi yang berlebihan karena pekerjaan/aktivitas.

Beberapa faktor risiko tersebut mungkin saja ditemukan pada satu individu dan saling menguatkan. Dua mekanisme utama OA ialah gangguan biomekanik serta gangguan biokimia. Pada mekanisme pertama faktor beban tubuh serta friksi dan kemampuan rawan sendi sebagai bantalan tekanan mekanik yang memegang peranan utama. Mekanisme kedua adalah terjadinya perubahan biokimiawi, hal ini mungkin dapat menjelaskan terjadinya OA pada persendian yang bukan tergolong sendi penopang berat badan. Agaknya kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi 

RAWAN SENDI NORMAL 
Rawan sendi normal merupakan jaringan ikat khusus avaskuler dam tidak memiliki jaringan saraf yang melapisi permukaan tulang dari sendi diartrodial. Rawan sendi berperan sebagai bantalan yang menerima (meredam) beban benturan yang terjadi selama gerakan sendi normal dam meneruskannya ke tulang di bawah sendi. Keunikan rawan sendi terletak pada komposisi dan struktur matriks ekstraseluler yang terutama mengandung agregat proteoglikan dalam konsentrasi tinggi dalam sebuah ikatan yang erat dengan serabut kolagen (collagen fiber) dan sejumlah besar air

Komposisi rawan sendi normal mengandung hanya satu jenis sel yang sangat spesifik yaitu kondrosit yang berperan dalam mensintesis dan memelihara matriks ekstraseluler. Matriks rawan sendi terutama mengandung kolagen, proteoglikan dan air. Kolagen merupakan molekul protein yang sangat kuat; ada beberapa tipe kolagen pada matriks ekstraseluler tetapi sebagian besar ialah kolagen tipe B. Kolagen berfungsi sebagai kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi pengembangan berlebihan agregat proteoglikan. Proteoglikan merupakan molekul kompleks yang tersusun atas inti protein dan molekul glikosaminoglikan. Bersama-sama dengan asam hialuronat, proteoglikan membentuk agregat yang dapat mengisap air dari sekitarnya sehingga mengembang sedemikian rupa membentuk bantalan yang baik sesuai dengan fungsi rawan sendi. Bagian proteoglikan yang melekat pada asam hialuronat adalah terminal-N dari inti proteinnya, pada
terminal ini juga melekat protein link. Terminal karboksi dari inti protein proteoglikan merupakan ujung bebas yang mungkin berperan dalam interaksinya dengan matriks ekstraseluler lainnya. Proteoglikan merupakan susunan 3 globular utama (G1, G2, G3) yang dipisahkan oleh perpanjangan segmen (E1 dan E2) yang membawa kondroitin sulfat (CS, pada domain kaya CS) dan keratan sulfat (KS, pada domain yang kaya keratan sulfat, pada segmen El dam sebagian pada domain kaya CS). Pada domain G1 dam G2 serta LP (link protein) terdapat struktur loop ganda yang disebut proteglycan tandem repeat (RPT), selain itu pada domain Gl dam LP terdapat pula bentuk loop lainnya yang disebut Immunoglabulin fold (Ig fold) yang secara selektif berinteraksi dengan asam hialuronat membentuk agregat. Di dalam rawan sendi normal, komponen matriks ekstraseluler walaupun lambat secara terus menerus mengalami pergantian (turn-over), molekul tua akan diganti yang baru. Proteoglikan mengalami turn-over yang lebih cepat dibandingkan kolagen, karena proteoglikan lebih peka terhadap enzim degradasi. Pada turn-over normal akan dilepaskan sejumlah besar fragmen proteoglikan yang menunjukkan bahwa bagian yang terputus (cleavage) adalah pada inti protein di tempat yang berdekatan dengan domain G1 dan G2 sehingga memisahkan ikatan HA dari regio pembawa glikosaminoglikan.
 
Degradasi makromolekul ini dikontrol oleh enzim proteolitik yang disintesis oleh kondrosit. Enzim proteolitik yang berperan pada proses ini ialah Metaloprotease 1 (MMP1 atau kolagenase) dan Metaloprotease 3 (MMP 3 atau stromelisin). Aktivitas enzim tersebut dikontrol oleh inhibitor endogen yang dikenal sebagai Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP). Kecepatan degradasi ditentukan pula oleh kadar enzim sintesis dan aktivitas dalam jaringan. Pada keadaan normal, proses degradasi dan sintesis harus terkoordinasi secara reguler agar jumlah makromolekul tetap terpelihara. Berbagai faktor berperan dalam menjaga keseimbangan
antara proses degradasi dan sintesis matriks makromolekuler ini, tetapi secara in vivo kontrol mekanisme ini
belum diketahui secara pasti. Berbagai faktor anabolik dan katabolik diketahui mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi metabolisme kondrosit dalam turn-over matriks rawan sendi. Sitokin, seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) merangsang sintesis enzim proteolitik dan menginduksi degradasi kolagen dan proteoglikan yang secara simultan menghambat sintesa proteoglikan. Sitokin ini terutama disintesis oleh makrofag, yang lebih nyata pada keadaan inflamasi sendi. Hormon pertumbuhan seperti transforming growth factor (TGF-β) dan Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) sebaliknya mempunyai efek anabolik terhadap metabolisme kondrosit. Peranannya sangat unik karena tidak hanya menstimulasi sintesis proteoglikan tetapi punya efek melawan aksi IL-1 pada metabolisme kondrosit dengan menghambat efek katabolik padsa rawan sendi 
 
RAWAN SENDI OSTEOARTRITIS 
Pada Osteoartritis hilangnya rawan sendi merupakan titik sentral, rawan sendi secara bertahap akan mengalami degradasi dengan penurunan progresif jumlah proteoglikan. Oleh karena sintesis proteoglikan kolagen dan hialuronan meningkat pada OA, berarti aktivitas kataboliknya sangat tinggi. Walaupun mungkin penggunaan sendi berlebih merupakan faktor terjadinya kehilangan rawan sendi tetapi peranan lysozom protease (Cathepsin) dan metalloprotease seperti stromelisin, kolagenase dan gelatinase cukup besar. Banyak peneliti berpendapat bahwa interleukin-1 sangat berperan pada progresivitas kerusakan rawan sendi. Sitokin ini diproduksi oleh sel mononuklear termasuk sel sinovia. IL-1 akan menstimulasi sintesis dan sekresi dan stromelisin, kolagenase, gelatinase dan tissue plasminogen activator. Diduga jumlah reseptor II-1 pada kondrosit sangat meningkat, sehingga meningkatkan sensitivitas terhadap IL-1. Growth factor berperan pada proses perbaikan, faktor pertumbuhan ini akan memodulasi metabolisme kondrosit baik pada faktor katabolik rnaupun pada faktor anabolik. Growth factor tidak hanya meningkatkan sintesa proteoglikan, tetapi juga mengurangi reseptor II-1 pada kondrosit dan menurunkan degradasi proteoglikan. Kualitas rawan sendi yang diperbaiki umumnya tidak sebagus rawan sendi normal dalam menghadapi tekanan mekanik dan akhirnya sintesis proteoglikan akan merosot, kondrosit tidak mampu lagi memelihara rawan sendi dan terjadilah stadium akhir dari OA yang disertai dengan hilangnya seluruh rawan sendi. 
 
PETANDA DIAGNOSTIK 
Hingga saat ini diagnosis osteoartritis masih didasarkan pada gejala klinik dan penemuan radiologik. Pemeriksaan laboratorik tidak ada yang spesifik. Kekurangan dari diagnosis yang didasarkan gejala klinik dan radiologik ialah penyakit sudah berlangsung lama dan lanjut. Diagnosis dini dan pemantauan aktivitas penyakit diperlukan terutama untuk menilai hasil pengobatan bila di kemudian hari digunakan obat yang dapat menghambat perjalanan penyakit ini (Disease Modifying Osteoarthritis Drugs = DMOA).
 
PENGOBATAN

Pengobatan OA yang ada saat ini barulah bersifat simptomatik dengan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dikombinasi dengan program rehabilitasi dan proteksi sendi. Pada stadium lanjut dapat dipikirkan berbagai tindakan operatif. Pengetahuan tentang patogenesis OA mendorong para peneliti untuk mengembangkan obat-obatan yang dapat menghambat perjalanan/progresivitas penyakit yang disebut sebagai
Disease-Modifying Osteoarthritis Drugs (DMOA), sayang hingga saat ini obat tersebut masih dalam taraf penelitian.

ANTI INFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.)

Seiring perkembangan zaman yang semakin canggih seperti sekarang ini, pemakaian dan pendayagunaan obat tradisional di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan teknologi yang semakin canggih dapat mengolah obat tradisional lebih praktis, enak dan menarik. Masyarakat beranggapan bahwa obat tradisional dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan disamping obat-obatan modern. Dari masa ke masa obat tradisional mengalami perkembangan yang semakin meningkat, terlebih dengan munculnya isu kembali ke alam (back to nature) serta krisis ekonomi berkepanjangan yang menurunkan daya beli masyarakat. Sementara ini banyak orang beranggapan bahwa penggunaan obat tradisional relatif lebih aman dibandingkan obat sintesis. Walaupun demikian bukan berarti obat tradisional tidak memiliki efek samping yang merugikan. Perlu diketahui informasi yang memadai tentang ketepatan takaran/dosis, waktu penggunaan, cara penggunaan, pemilihan bahan secara benar, pemilihan obat tradisional untuk indikasi tertentu agar penggunaannya optimal. Jadi tidak benar, bila dikatakan obat tradisional itu tidak memiliki efek samping, sekecil apapun efek samping tetap ada, namun hal itu bisa diminimalkan jika diperoleh informasi yang cukup (Katno dan Pramono, 2006).

Tanaman belimbing wuluh Averrhoa bilimbi (Linn.) merupakan salah satu tanaman yang digunakan sebagai obat alami. Daun belimbing wuluh mempunyai aktivitas farmakologi yaitu untuk menghilangkan rasa nyeri dan sebagai antiinflamasi (Sudarsono dkk., 2002). Tanaman belimbing wuluh memiliki kandungan kimia yaitu : kalium oksalat, flavonoid, pektin, tanin, asam galat dan asam ferulat (Soedibyo, 1998). Kandungan kimia alami yang terdapat pada daun belimbing wuluh yang diduga memiliki aktivitas antiinflamasi adalah flavonoid dan saponin (Sudarsono dkk., 2002).
 
Penelitian pada beberapa tanaman, diketahui flavonoid mempunyai aktivitas antiinflamasi karena dapat menghambat beberapa enzim seperti aldose reduktase, xanthine oxidase, phosphodiesterase, Ca2+ A Tpase, lipooxygenase dan cyclooxygenase (Narayana et al., 2001). Flavonoid bentuk aglikon bersifat non-polar dan bentuk glikosidanya bersifat polar. Untuk menyari flavonoid dapat digunakan pelarut air maupun etanol 70% (Harborne, 1987).

Sistematika tanaman belimbing wuluh

Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Sub Kelas : Dialypetalae
Bangsa : Geraniales
Suku : Oxalidaceae
Marga : Averrhoa
Jenis : Averrhoa bilimbi (Linn.) (van Steenis, 1947).

Nama lain belimbing wuluh

Nama asing dari belimbing wuluh diantaranya adalah bilimbi, cucumber tree dan small sour starfruit (Inggris) (Hariana, 2004). Sedangkan nama daerah diantaranya : limeng (Aceh), malimbi (Nias), balimbing (Lampung), calincing (Sunda), blimbing wuluh (Jawa), balimbeng (Flores), balimbing botol (Manado), uteke (Irian Barat Daya) (Heyne, 1987). Nama simplisia daun belimbing wuluh adalah bilimbi folium (Soedibyo, 1998).

Uraian tentang tanaman

Tanaman belimbing wuluh biasanya mempunyai ukuran ketinggian antara 5 sampai 10 m. Tanda bekas daun bentuk ginjal atau jantung. Anak daun bulat telur atau memanjang, meruncing, antara 2 sampai 10 kali, 1 hingga 3 cm, ke arah ujung poros lebih besar, bawah hijau muda. Malai bunga menggantung, panjang 5 sampai 20 cm. Bunga semuanya dengan panjang tangkai putik yang sama. Kelopak panjang 6 mm. Daun mahkota tidak atau hampir bergandengan, bentuk spatel atau lanset, dengan pangkal yang pucat. Lima benang sari di depan daun mahkota mereduksi menjadi staminodia. Buah buni persegi membulat tumpul, kuning hijau, panjang 4 sampai 6,5 cm. Tanaman ini ditanam sebagai pohon buah dan kadang-kadang menjadi tanaman liar (van Steenis, 1947)

Daerah distribusi, habitat dan budidaya 
Tanaman belimbing wuluh dapat hidup dengan baik di tempat terbuka yang terkena sinar matahari langsung. Penyiraman dilakukan setiap hari baik pagi maupun sore kecuali pada musim penghujan. Pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk buatan, kandang atau kompos (Suryowinoto, 1997). Tanaman belimbing wuluh dapat tumbuh alami di daratan Asia beriklim tropis lembab, pada ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan sistem pengairan yang baik. Perkembangbiakan dapat dilakukan dengan biji (generatif) atau dengan cara penyambungan, penempelan atau pencangkokan (vegetatif). Buah pertama muncul setelah umur antara 4 sampai 5 tahun dan dapat berbuah sepanjang tahun (Sudarsono dkk., 2002).
 
Kegunaan di masyarakat
 
Daun belimbing wuluh yang dilumatkan untuk mengatasi demam dan obat luar. Rebusan daun untuk menanggulangi peradangan, gerusan tangkai muda dan bawang merah sebagai obat oles pada penyakit gondong. Daun belimbing wuluh muda dicampur beberapa rempah-rempah untuk encok. Efek farmakologi daun belimbing wuluh dapat digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan sebagai antiinflamasi (Sudarsono dkk., 2002).

Kandungan kimia 
Tanaman belimbing wuluh Averrhoa bilimbi (Linn.) ini memiliki kandungan kimia yaitu : kalium oksalat, flavonoid, pektin, tanin, asam galat dan asam ferulat (Soedibyo, 1998).

Penelitian Khasanah (2007) menunjukkan bahwa infusa daun belimbing wuluh Averrhoa bilimbi (Linn.) konsentrasi 40% mempunyai efek antiinflamasi pada tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi dengan 0,1 ml karagenin 1% adalah sebesar 42,73%. Tanaman belimbing wuluh ini memiliki kandungan kimia yaitu : kalium oksalat, flavonoid, pektin, tanin, asam galat dan asam ferulat (Soedibyo, 1998). Kandungan kimia alami yang terdapat pada daun belimbing wuluh yang diduga bertanggung jawab pada aktivitas antiinflamasi adalah flavonoid karena mempunyai aktivitas antiinflamasi (Barnes et al., 1996). Hasil penelitian pada beberapa tanaman, diketahui flavonoid mempunyai aktivitas antiinflamasi karena dapat menghambat beberapa enzim seperti aldose reduktase, xanthine oxidase, phosphodiesterase, Ca2+ A Tpase, lipooxygenase dan cyclooxygenase (Narayana et al., 2001). Melalui jalur enzim cyclooxygenase dan lipooxygenase dari metabolisme asam arakidonat ini yang memfasilitasi terbentuknya mediator proses inflamasi (Katzung, 2002). Flavonoid dalam bentuk aglikon bersifat non-polar dan dalam bentuk glikosidanya bersifat polar. Untuk melakukan penyarian flavonoid dapat dilakukan dengan pelarut air maupun etanol 70% (Harborne, 1987).
Digunakan etanol 70% sebagai larutan penyari karena etanol 70% bersifat semi-polar yang dapat melarutkan senyawa yang bersifat polar maupun non-polar, tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Etanol 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal (Voigt, 1994).
 
Hipotesis 
Ekstrak etanol daun belimbing wuluh Averrhoa bilimbi (Linn.) diduga mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi terhadap tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi dengan karagenin 1 %.

sumber :
- http://www.kalbe.co.id/
- http://etd.eprints.ums.ac.id/1425/1/K100040021- EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR

0 komentar:

Posting Komentar