Laporan Pendek Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2009
Topik Family Medicine
TUBERKULOSIS PARU
Adrian Taufik 04711099
Pendahuluan
Dokter keluarga adalah dokter yang memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada komunitas dengan keluarga sebagai titik beratnya, sehingga ia tidak hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian dari unit keluarga. Dan tidak hanya menanti secara pasif tetapi bila perlu aktif mengunjungi penderita atau keluarganya. Pelayanan dokter keluarga bersifat pelayanan primer, personal, berkelanjutan dan komprehensif serta menekankan keluarga sebagai unit perawatan dan sasaran untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Pelayanan dokter keluarga melibatkan dokter keluarga sebagai penjaring di tingkat primer. Sebagai bagian suatu jaringan pelayanan kesehatan terpadu, melibatkan dokter spesialis di tingkat sekunder dan rumah sakit rujukan sebagai tempat pelayanan rawat inap. Pelayanan ini dilaksanakan secara komprehensif, kontinyu, integratif, holistik, koordinatif dengan mengutamakan pencegahan. Tujuan pelayanan dokter keluarga secara umum dibagi menjadi 2 yaitu: Tujuan umum. Pada dasarnya sama dengan dengan pelayanan kesehatan secara keseluruhan, yakni terwujudnya keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga. Tujuan Khusus. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih efektif dan efisien.
Tuberkulosis
Definisi. Tuberkulosis adalah suatu infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Dan ditandai adanya pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi akibat reaksi hipersensitifitas yang diperantai oleh sel (Bahar, 2001). Patogenesis. Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup Myobacterium tuberculosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, kuman TB akan mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, yang disebut sebagai focus Gohn. Melalui aliran limfe, kuman TB akan mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Gohn dan limfadenopati hilus membentuk kompleks primer TB. Melalui kompleks primer, kuman TB akan menyebar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh.
Respon tubuh terhadap infeksi kuman TB berupa respon imun seluler hipersensitifitas tipe lambat yang terjadi 4-6 minggu setelah terinfeksi. Banyaknya kuman TB serta kemampuan daya tahan host menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada sebagian besar kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh buruk, respon imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga host akan sakit beberapa bulan kemudian. Berdasar penularannya maka tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu: Tuberkulosis primer. Terdapat pada anak-anak. Setelah 6-8 minggu akan mulai terbentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga test tuberkulin akan positif. Pada pasien ini akan terbentuk kompleks primer TB dan selanjutnya dapat menyebar secara hematogen ke apeks paru yang kaya oksigen. Reaktifasi dari tuberkulosis primer. Infeksi TB primer akan mengalami reaktifasi terutama pada 2 tahun post infeksi primer maka keadaan ini disebut sebgai tuberkulosis postprimer. Kuman akan disebarkan secara hematogen ke segmen apikal posterior. Reaktifasi dapat kjuga terjadi melalui metastase hematogen ke berbagai jaringan tubuh. Reinfeksi. Keadaan ini terjadi pada saat adanya penurunan imunitas tubuh atau terjadi penularan secara terus-menerus oleh kuman TB dalam satu keluarga.
Klasifikasi. Klasifikasi TB menurut WHO adalah berdasarkan terapi, yaitu : Kategori I. Kasus baru dengan sputum positif atau kasus baru dengan bentuk TB berat. Kategori II. Kasus kambuh atau kasus gagal dengan sputum BTA positif. Kategori III. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas atau kasus TB ekstraparu selain dari yang disebut pada kategori I. Kategori IV. TB kronik.
Manifestasi Klinis. Keluhan yang dirasakan oleh pasien TB dapat bervariasi atau terkadang ditemukan banyak pasien dengan TB paru tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang biasa ditemukan pada pasien dengan TB paru adalah diantaranya demam, batuk dengan atau tanpa darah, sesak napas, nyeri dada, malaise.
Demam pada pasien dengan TB paru biasanya subfebris tetapi kadang dapat mencapai 40-410 C. Demam ini biasanya hilang timbul sehingga pasien merasa tidak
2
pernah bebas dari serangan demam. Keadaan ini berhubungan dengan daya tahan tubuh pasien serta berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk. Gejala batuk pada pasien dengan TB banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama maka mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yaitu setelah setelah berminggu-minggu atau berbulan-bilan peradangan dimulai. Sifat batuk dapat dimulai dari batuk kering dan setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif yang menghasilkan sputum. Keadaan lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapatnya pembuluh adrah yang pecah. Batuk darah kebanyakan timbul akibat kavitasi namun dapat pula terjadi pada ulkus dinding bronkus. Sesak napas pada penyakit ringan belum akan dirasakan. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit paru yang sudah lanjut, yang infiltrasinya meliputi setengah bagian paru. Nyeri dada agak jarang ditemukan. Timbul biasanya bila infiltrasi radang sudah mencapai pleura sehingga terjadi pleuritis. Penyakit TB merupakan penyakit radang yang menahun sehingga gejala malaise sering ditemukan yang dapat berupa anorexia (tidak nafsu makan), berat badan yang menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu tubuh yang subfebris, badan kurus atau berat badan menurun. Pemeriksaan fisik sering tidak diperoleh hasil yang memuaskan terutama apabila sarang penyakit terletak di dalam akan sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat agak luas mungkin ditemukan perkusi yang redup dan auskultasi suara bronkhial dan suara tambahan ronkhi basah kasar yang nyaring. Namun bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara tambahan menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, pada perkusi akan diperoleh hasil hipersonor atau timpani dan suara auskultasi amforik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot interkostal. Bagian paru yang sakit menciut dan menarik isi mediastinum atau paru yang lain. Paru yang sehat jadi hiperinflasi. Keadaan lanjut TB paru dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonalis) yang diikuti terjadinya kor pulmonale dan gagal jantung kanan sehingga akan dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonale dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardi, sianosis, right ventrikular lift, right artikular gallop, murmur Graham Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, ascites dan edem.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkan adanya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin positif. Radiologis. Pemeriksaan radilogis merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru tetapi dapat juga mengenai bagian inferior atau daerah hilus yang menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak seperti awan dan dengan batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas tegas. Pada kavitasi bayangan berupa cincin berdinding tipis. Pada kalsifikasi bayangan tampak bercak padat dengan densitas tinggi. Pada ateletaksis terlihat fibrosis luas dengan penciutan pada sebagian, satu lobus atau satu bagian paru. Gambaran tuberkulosis miliar tampak berupa bercak halus yang umumnya tersebar rata di seluruh lapang paru. Pemeriksaan radiologis lain yang dapat dilakukan adalah bronkografi, CT scan dada atau juga MRI. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada darah, sputum dan tes tuberkulin. Darah. Pemeriksaan tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada TB baru akan didapatkan leukosit meninggi dengan hitung jenis bergeser ke kiri, jumlah limfosit masih normal dan LED mulai meningkat. Sputum. Pemeriksaan sputum adalah penting untuk menemukan kuman BTA. Pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang telah diberikan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila paling tidak ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Untuk pemeriksaan BTA, bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin atau tinja. Tes tuberkulin. Pemeriksaan ini dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Tes ini dilakukan dengan menyuntikan 0,1 cc tuberkulin secara intrakutan. Tes ini hanya menyatakan apakah seseorang sedang atau pernah terinfeksi kuman TB atau mendapat vaksinasi BCG. Tes tuberkulin (mnataoux) dinyatakan posotif apabila diperoleh indurasi 10 mm setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan.
Diagnosis. Diagnosis TB ditegakkan dengan memperhatikan klinis pasiem, foto thorax temuan mikrobiologis dan diagnosis diklasifikan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Di luar pembagian tersebut di atas pasien digolongkan lagi berdasarkan riwayat penyakitnya, yaitu :
3
Kasus baru. Pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari 1 bulan Kasus kambuh. Pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB tetapi kemudian timbul lagi TB aktifnya Kasus gagal. Pasien yang sputum BTAnya tetap positif setelah mendapat obat anti TB lebih dari 5 bulan atau pasien yang menghentikan pengobatan setelah mendapat obat anti TB 1-5 bulan dan sputum BTA nya masih positif Kasus kronik. Pasien yang sputum BTAnya tetap positif setelah mendapat pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
Terapi. Dahulu terapi untuk TB hanya dipakai satu macam obat saja namun sekarang pemakaian obat tunggal banyak terjadi resistensi. Untuk mencegah terjadinya resistensi, terapi TB dilakukan dengan memakai panduan obat sedikitnya 2 macam obat bakterisid Tujuan pemberian obat anti TB adalah : Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negative secepat mungkin melalui kegiatan bakterisid (obat anti TB yang bersifat membunuh kuman yang sedang tumbuh) Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan dengan kegiatan sterilisasi (obat anti TB yang bersifat membunuh kuman yang pertumbuhannya lambat) Menghilangkan atau mengurangi gejala melalui perbaikan daya tahan imunologis.
Tabel 1. Panduan OAT pada TB paru (WHO, 1993) Panduan OAT Klasifikasi & tipe penderita Fase awal Fase lanjutan
Kategori 1
BTA (+) baru Sakit berat
2HRZS (E) 2RHZS (E)
4RH 4R3H3
Kategori 2
Pengobatan ulang kambuh BTA (+) gagal
2RHZES/ 1RHZE 2RHZES/ 1RHZE
5RHE 5R3H3E3
Kategori 3
TB paru BTA (-) TB luar paru
2RHZ 2RHZ/ 2R3H3Z3
4RH 4R3H3
Keterangan : 2 HRZ : tiap hari selama 2 bulan 4 RH : tiap hari selama 4 bulan 4 H3R3 : 3 kali seminggu selama 4 bulan
Komplikasi. Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi seperti : Komplikasi dini: pleuritis efusi pleura empiema laringitis TB usus Komplikasi lanjut obstruksi jalan napas kor pulmonale amiloidosis karsinoma paru sindrom gagal napas
Pembahasan
Penegakkan Diagnosis. Pasien berkunjung ke puskesmas Borobudur pada tanggal 12 Mei 2009. Dari hasil anamnesis didapatkan informasi sebagai berikut : Keluhan utama: Batuk lama, yang timbul sejak 7 bulan yang lalu. Setelah itu dilakukan pemeriksaan sputum dan didapatkan hasil BTA (+) dan dinyatakan menderita TB paru. Kemudian direncanakan pengobatan dengan OAT selama 6 bulan. Saat ini batuk dirasakan lebih sering timbul pada malam hari, sehingga pasien sulit tidur. Ayah pasien pernah mengalami keluhan serupa beberapa tahun yang lalu, dan merupakan pasien drop out pengobatan TB paru.
Hasil anamnesis tersebut di atas yang mencakup tanda dan gejala yang muncul serta riwayat penyakit menunjukkan penyakit TB paru. Penatalaksanaan. Pengobatan pada pasien ini digunakan paket OAT. Tujuan pemberian obat anti TB adalah: Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negative secepat mungkin melalui kegiatan bakterisid (obat anti TB yang bersifat membunuh kuman yang sedang tumbuh) Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan dengan kegiatan sterilisasi (obat anti TB yang bersifat membunuh kuman yang pertumbuhannya lambat) Menghilangkan atau mengurangi gejala melalui perbaikan daya tahan imunologis.
Edukasi. Edukasi yang diberikan pada pasien adalah mengenai penyakit pasien yang bersifat menular dan memerlukan pengobatan dalam jangka waktu lama, sehingga pasien harus sabar dan taat minum obat. Selain itu anggota juga perlu memeriksakan dahaknya, karena memiliki kemungkinan tertular, anggota keluarga juga harus mengingatkan dan memotivasi pasien dalam menjalani pengobatan.
4
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan menyeluruh yang meliputi anamnesis yang mencakup tanda dan gejala serta riwayat penyakit, maka penyakit pasien didiagnosa menderita tuberkulosis. Terapi medikamentosa yang diberikan adalah terapi OAT kategori I untuk penderita dengan BTA (+) baru. Pada kunjungan rumah yang dilakukan setelah kunjungan pasien ke puskesmas, didapatkan informasi bahwa setelah mengkonsumsi obat dari dokter di klinik keluarga gejala yang diderita mengalami perbaikan. Ayah pasien merupakan pasien drop out pengobatan TBC.
Saran
Pasien harus minum obat secara teratur dan melanjutkan pengobatan hingga dinyatakan sembuh. Pasien harus sabar dan taat. Anggota keluarga harus memeriksakan dahaknya dan harus memperhatikan, serta memotivasi pasien dalam menjalani pengobatan.
Daftar Pustaka
Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III, Balai Penerbit FKUI; 2001. Bahar A. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III, Balai Penerbit FKUI; 2001. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan 8, Departemen Kesehatan; 2003.
0 komentar:
Posting Komentar